Sabtu, 15 Juni 2013

ZAKAT FITRAH


A.    PENGERTIAN ZAKAT
Secara bahasa, zakat itu bermakna : bertambah, suci, tumbuh ,barakah. (lihat kamus Al-Mu`jam al-Wasith jilid 1 hal. 398). Makna yang kurang lebih sama juga kita dapati bila membuka kamus Lisanul Arab. [1]
Ada pendapat beberapa ulama mengenai pengertian zakat. Yaitu:
1)     Menurut mazhab maliki, definisi zakat adalah “mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiqq)n ya. Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan barang tambang dan bukan pertanian.”
2)     Menurut mazhab Hanafi, zakat adalah “menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syari’at karena Allah SWT.”
3)     Menurut mazhab Syafi’I, zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus.
4)     Menurut mazhab Hambali, zakat adalah hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula.
Dari definisi-definisi zakat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa zakat menurut terminology dimaksudkan sebagai penuaian yakni penuaian hak yang wajib yang terdapat dalam harta. Zakat juga dimaksudkan sebagai bagian harta tertentu dan yang diwajibkan oleh Allah untuk diberikan kepada orang-orang fakir.[2]
Sedangkan secara syara`, zakat itu bermakna bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah wajibkan untuk diberikan kepada mustahiqqin (orang-orang yang berhak menerima zakat).[3]
B.    HUKUM ZAKAT
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.

C.    SYARAT WAJIB ZAKAT
1.   Muslim
2.   Baligh
3.   Aqil (Berakal)
4.   Memiliki Harta Yang telah mencapai Nisab
5.   Niat Zakat
D.    ORANG YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT
1.   Fakir yaitu: Mereka yang hampir tidak memiliki apa apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
2.    Miskin yaitu: Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
3.   Amil yaitu: Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
4.   Muallaf yaitu: Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya.
5.   Hamba Sahaya yang ingin memerdekakan dirinya.
6.   Gharimin yaitu: Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya.
7.   Fisabilillah yaitu: Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal : dakwah perang, dsb)
8.   Ibnus Sabil yaitu: Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan.

ZAKAT FITRAH
a. Pengertian
Zakat Fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan atas diri setiap individu lelaki dan perempuan muslim yang berkemampuan dengan syarat syarat yang ditetapkan. Kata Fitrah yang ada merujuk pada keadaan manusia saat baru diciptakan sehingga dengan mengeluarkan zakat ini manusia dengan izin Allah akan kembali fitrah.
b.Hadits tentang zakat Fitrah
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه
 “Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sho’ kurma atau satu sho’ sya’ir atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki dan perempuan, besar kecil dari orang-orang islam; dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat Ied”. Muttafaq Alaihi.
c. Pandangan zakat Fitrah Menurut 4 Mazhab
Empat imam mazhab sepakat bahwa zakat fitrah hukumnya adalah wajib. Maliki, Syafi'i, dan mayoritas ulama: Wajib di sini harus dalam arti fardu karena setiap fardu adalah wajib, tetapi tidak sebaliknya.
Hanafi : Wajib di sini dalam arti wajib, bukan fardu, sebab fardu lebih kuat daripada wajib.
Zakat fitrah diwajibkan atas anak kecil dan orang dewasa. Demikian, menurut kesepakatan empat imam mazhab.
Zakat fitrah atas budak yang dikongsikan wajib atas kedua kongsi yang mengkongsikannya. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Namun, dalam riwayat lain, Hambali berpendapat : Masing masing kongsi membayarkan zakatnya sepenuhnya (satu sha’). Hanafi: Tidak ada kewajiban atas kongsi kongsi.
Orang yang mempunyai budak kafir, menurut Hanafi: Wajib dibayar zakat fitrahnya. Pendapat ini berbeda dengan pendapat tiga imam mazhab lainnya yang menyatakan : Tidak wajib.
Suami wajib membayarkan zakat fitrah istrinya, sebagaimana ia wajib memberi nafkah. Demikian, pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Sementara itu, Hanafi berpendapat: Zakat fitrah istri tidak wajib dibayarkan oleh suami.
Orang yang setengah merdeka dan setengah budak tidak diwajibkan membayar zakat fitrah. Demikian, menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan Hambali: Ia wajib membayar separo zakat fitrahnya dan separo sisanya dibayarkan oleh tuannya. Dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat Syafi’i. Kedua, wajib atas tuannya membayarkan separonya, sedangkan budak itu tidak wajib membayarnya.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang wajib mengeluarkan zakat fitrah wajib mengeluarkan zakat fitrah bagi anak anaknya yang masih kecil dan budak budaknya yang Muslim.
Empat imam mazhab berbeda pendapat mengenai waktu yang diwajibkan dalam membayar zakat fitrah. Hanafi: Zakat fitrah wajib dibayarkan ketika terbit fajar pada hari pertama bulan Syawal. Hambali : Pada waktu terbenamnya matahari pada malam hari raya. Maliki dan Syafi’i berpendapat seperti kedua imam mazhab di atas. Para imam mazhab sepakat bahwa zakat fitrah tidak gugur lantaran diakhirkan sampai keluar waktunya, melainkan menjadi utang baginya hingga dibayarkan.
Mereka juga sepakat tentang tidak bolehnya menunda pembayaran zakat fitrah hingga lewat hari raya. Ibn Sirin dan an Nakha’i mengatakan : Boleh mengakhirkan pembayaran zakat fitrah hingga lewat hari raya. Hambali berpendapat: Kami berharap agar hal demikian tidak menjadi masalah.
Empat imam mazhab sepakat mengenai bolehnya mengeluarkan zakat fitrah dengan lima jenis barang, sebagai berikut :
1)     gandum bermutu tinggi;
2)     gandum bermutu rendah;
3)     kurma;
4)     kismis;
5)     susu kering
kecuali menurut Hanafi yang tidak membolehkan susu kering, tetapi boleh dengan harganya.
Syafi'i berpendapat : Apa saja yang wajib dikeluarkan sepersepuluhnya (10%) sebagai zakat, maka barang tersebut boleh dikeluarkan untuk fitrah, seperti beras, gandum, dan jagung.
Maliki dan Syafi’i berpendapat : Tidak boleh membayar zakat fitrah dengan tepung dan tepung anggur. Hanafi dan Hambali : Keduanya boleh dibayarkan sebagai zakat fitrah. Demikian juga, menurut al-Anmathi, salah seorang pengikut Syafi’i.
Hanafi : Boleh membayar zakat fitrah dengan cara membayar harganya. Mengeluarkan kurma untuk membayar zakat fitrah lebih utama. Demikian, menurut Maliki dan Hambali. Syafi’i : yang lebih utama adalah gandum. Hanafi : yang lebih utama adalah dengan barang yang lebih mahal harganya.
Menurut Syafi’i dan mayoritas sahabat, zakat fitrah wajib diberikan kepada delapan asnaf sebagaimana dalam zakat harta. Al Isthikhri, salah seorang pengikut Syafi’i, berpendapat : Boleh diberikan kepada tiga orang fakir dan miskin saja dengan syarat pembayar zakat adalah orang yang membayarkannya sendiri. Sedangkan, jika ia menyerahkannya kepada kepala negara (imam), maka zakat fitrah wajib diberikan kepada delapan asnaf secara merata, karena zakat itu sudah terkumpul di tanganya sehingga tidak ada alasan untuk tidak membaginya secara rata.
An Nawawi dalam kitabnya, al Majmu'Syarh al Muhadzdzab, menyatakan: Maliki, Hanafi, dan Hambali membolehkan seseorang membayarkan zakat fitrahnya kepada scorang fakir saja. Mereka mengatakan bahwa boleh membayarkan zakat fitrah sekelompok orang kepada scorang miskin. Pendapat ini dipilih oleh segolongan ulama pengikut Syafi'i, seperti Ibn al Mundzir, ar Ruyani, dan Abu Ishaq asy Syairazi. Apabila seseorang telah mengeluarkan zakat fitrah, lalu zakat tersebut diberikan kepadanya, sementara ia sendiri memerlukannya, maka ia boleh menerimanya. Demikian, menurut Hanafi, Syfi’i, dan Hambali. Sementara itu, Maliki berpendapat: Hal demikian tidak dibolehkan.
Empat imam mazhab sepakat tentang bolehnya mengeluarkan zakat fitrah sehari atau dua hari sebelum hari raya. Namun, mereka berbeda pendapat jika pembayarannya dua hari setelah hari raya.
Hanafi: Boleh mendahulukan pembayaran zakat fitrah sebelum bulan Ramadhan. Syafi’i: Boleh membayarnya pada awal bulan Ramadhan. Maliki dan Hambali: Tidak boleh mendahulukan pembayaran zakat fitrah dari waktu wajibnya.[4]


[1] Ahmad Sarwat, FIQH ZAKAT KONTEMPORER, E-Book, hlm 7
[2] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat(Kajian berbagai Mazhab), (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1997) hlm. 83-85

[3] Yusuf Al-Qaradawi, FIQHUS ZAKAT, Jilid 1, hlm 38
[4] Syikh Al-Allamah Muhammad Bin Abdulrrahman, Fiqih 4 Mazhab, Ad. Dimasyqi ,Penerbit Hasyimi Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar