A.
PENGERTIAN ZAKAT
Secara
bahasa, zakat itu bermakna : bertambah, suci, tumbuh ,barakah. (lihat kamus
Al-Mu`jam al-Wasith jilid 1 hal. 398). Makna yang kurang lebih sama juga kita
dapati bila membuka kamus Lisanul Arab. [1]
Ada
pendapat beberapa ulama mengenai pengertian zakat. Yaitu:
1)
Menurut mazhab maliki,
definisi zakat adalah “mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus
pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada
orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiqq)n ya. Dengan catatan, kepemilikan
itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan barang tambang dan bukan
pertanian.”
2)
Menurut mazhab Hanafi,
zakat adalah “menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus
sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syari’at karena Allah
SWT.”
3)
Menurut mazhab Syafi’I,
zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan
cara khusus.
4)
Menurut mazhab Hambali,
zakat adalah hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk kelompok
yang khusus pula.
Dari definisi-definisi zakat diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa zakat menurut terminology dimaksudkan sebagai penuaian yakni
penuaian hak yang wajib yang terdapat dalam harta. Zakat juga dimaksudkan
sebagai bagian harta tertentu dan yang diwajibkan oleh Allah untuk diberikan
kepada orang-orang fakir.[2]
Sedangkan secara syara`, zakat itu bermakna bagian
tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah wajibkan untuk diberikan
kepada mustahiqqin (orang-orang yang berhak menerima zakat).[3]
B.
HUKUM ZAKAT
Zakat merupakan
salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya
syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas
setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam
kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara
rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah, sekaligus merupakan amal
sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan
perkembangan ummat manusia.
C.
SYARAT WAJIB ZAKAT
1.
Muslim
2.
Baligh
3.
Aqil (Berakal)
4.
Memiliki Harta Yang
telah mencapai Nisab
5.
Niat Zakat
D.
ORANG YANG BERHAK
MENERIMA ZAKAT
1.
Fakir yaitu: Mereka
yang hampir tidak memiliki apa apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
pokok hidup.
2.
Miskin yaitu: Mereka yang memiliki harta namun
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
3.
Amil yaitu: Mereka yang
mengumpulkan dan membagikan zakat.
4.
Muallaf yaitu: Mereka
yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan
barunya.
5.
Hamba Sahaya yang ingin
memerdekakan dirinya.
6.
Gharimin yaitu: Mereka
yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya.
7.
Fisabilillah yaitu: Mereka
yang berjuang di jalan Allah (misal : dakwah perang, dsb)
8.
Ibnus Sabil yaitu: Mereka
yang kehabisan biaya di perjalanan.
ZAKAT FITRAH
a. Pengertian
Zakat Fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan atas
diri setiap individu lelaki dan perempuan muslim yang berkemampuan dengan
syarat syarat yang ditetapkan. Kata Fitrah yang ada merujuk pada keadaan
manusia saat baru diciptakan sehingga dengan mengeluarkan zakat ini manusia
dengan izin Allah akan kembali fitrah.
b.Hadits
tentang zakat Fitrah
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( فَرَضَ
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ,
أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ,
وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا
أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ ) مُتَّفَقٌ
عَلَيْه
“Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu
sho’ kurma atau satu sho’ sya’ir atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki
dan perempuan, besar kecil dari orang-orang islam; dan beliau memerintahkan
agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat Ied”. Muttafaq
Alaihi.
c. Pandangan
zakat Fitrah Menurut 4 Mazhab
Empat imam mazhab sepakat bahwa zakat fitrah
hukumnya adalah wajib. Maliki, Syafi'i, dan mayoritas ulama: Wajib di sini
harus dalam arti fardu karena setiap fardu adalah wajib, tetapi tidak
sebaliknya.
Hanafi : Wajib di sini dalam arti wajib, bukan
fardu, sebab fardu lebih kuat daripada wajib.
Zakat fitrah diwajibkan atas anak kecil dan orang
dewasa. Demikian, menurut kesepakatan empat imam mazhab.
Zakat fitrah atas budak yang dikongsikan wajib atas
kedua kongsi yang mengkongsikannya. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i,
dan Hambali. Namun, dalam riwayat lain, Hambali berpendapat : Masing masing
kongsi membayarkan zakatnya sepenuhnya (satu sha’). Hanafi: Tidak ada kewajiban
atas kongsi kongsi.
Orang yang mempunyai budak kafir, menurut Hanafi:
Wajib dibayar zakat fitrahnya. Pendapat ini berbeda dengan pendapat tiga imam
mazhab lainnya yang menyatakan : Tidak wajib.
Suami wajib membayarkan zakat fitrah istrinya,
sebagaimana ia wajib memberi nafkah. Demikian, pendapat Maliki, Syafi’i, dan
Hambali.
Sementara itu, Hanafi berpendapat: Zakat fitrah istri tidak wajib dibayarkan oleh suami.
Sementara itu, Hanafi berpendapat: Zakat fitrah istri tidak wajib dibayarkan oleh suami.
Orang yang setengah merdeka dan setengah budak tidak
diwajibkan membayar zakat fitrah. Demikian, menurut pendapat Hanafi, Syafi’i
dan Hambali: Ia wajib membayar separo zakat fitrahnya dan separo sisanya
dibayarkan oleh tuannya. Dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti
pendapat Syafi’i. Kedua, wajib atas tuannya membayarkan separonya, sedangkan
budak itu tidak wajib membayarnya.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang wajib
mengeluarkan zakat fitrah wajib mengeluarkan zakat fitrah bagi anak anaknya
yang masih kecil dan budak budaknya yang Muslim.
Empat imam mazhab berbeda pendapat mengenai waktu
yang diwajibkan dalam membayar zakat fitrah. Hanafi: Zakat fitrah wajib
dibayarkan ketika terbit fajar pada hari pertama bulan Syawal. Hambali : Pada
waktu terbenamnya matahari pada malam hari raya. Maliki dan Syafi’i berpendapat
seperti kedua imam mazhab di atas. Para imam mazhab sepakat bahwa zakat fitrah
tidak gugur lantaran diakhirkan sampai keluar waktunya, melainkan menjadi utang
baginya hingga dibayarkan.
Mereka juga sepakat tentang tidak bolehnya menunda
pembayaran zakat fitrah hingga lewat hari raya. Ibn Sirin dan an Nakha’i
mengatakan : Boleh mengakhirkan pembayaran zakat fitrah hingga lewat hari raya.
Hambali berpendapat: Kami berharap agar hal demikian tidak menjadi masalah.
Empat imam mazhab sepakat mengenai bolehnya mengeluarkan zakat fitrah dengan lima jenis barang, sebagai berikut :
Empat imam mazhab sepakat mengenai bolehnya mengeluarkan zakat fitrah dengan lima jenis barang, sebagai berikut :
1) gandum bermutu tinggi;
2) gandum bermutu rendah;
3) kurma;
4) kismis;
5) susu kering
kecuali menurut Hanafi
yang tidak membolehkan susu kering, tetapi boleh dengan harganya.
Syafi'i berpendapat :
Apa saja yang wajib dikeluarkan sepersepuluhnya (10%) sebagai zakat, maka
barang tersebut boleh dikeluarkan untuk fitrah, seperti beras, gandum, dan
jagung.
Maliki dan Syafi’i
berpendapat : Tidak boleh membayar zakat fitrah dengan tepung dan tepung
anggur. Hanafi dan Hambali : Keduanya boleh dibayarkan sebagai zakat fitrah.
Demikian juga, menurut al-Anmathi, salah seorang pengikut Syafi’i.
Hanafi : Boleh
membayar zakat fitrah dengan cara membayar harganya. Mengeluarkan kurma untuk
membayar zakat fitrah lebih utama. Demikian, menurut Maliki dan Hambali.
Syafi’i : yang lebih utama adalah gandum. Hanafi : yang lebih utama adalah
dengan barang yang lebih mahal harganya.
Menurut Syafi’i dan
mayoritas sahabat, zakat fitrah wajib diberikan kepada delapan asnaf
sebagaimana dalam zakat harta. Al Isthikhri, salah seorang pengikut Syafi’i,
berpendapat : Boleh diberikan kepada tiga orang fakir dan miskin saja dengan
syarat pembayar zakat adalah orang yang membayarkannya sendiri. Sedangkan, jika
ia menyerahkannya kepada kepala negara (imam), maka zakat fitrah wajib
diberikan kepada delapan asnaf secara merata, karena zakat itu sudah terkumpul
di tanganya sehingga tidak ada alasan untuk tidak membaginya secara rata.
An Nawawi dalam
kitabnya, al Majmu'Syarh al Muhadzdzab, menyatakan: Maliki, Hanafi, dan Hambali
membolehkan seseorang membayarkan zakat fitrahnya kepada scorang fakir saja.
Mereka mengatakan bahwa boleh membayarkan zakat fitrah sekelompok orang kepada
scorang miskin. Pendapat ini dipilih oleh segolongan ulama pengikut Syafi'i,
seperti Ibn al Mundzir, ar Ruyani, dan Abu Ishaq asy Syairazi. Apabila
seseorang telah mengeluarkan zakat fitrah, lalu zakat tersebut diberikan
kepadanya, sementara ia sendiri memerlukannya, maka ia boleh menerimanya. Demikian,
menurut Hanafi, Syfi’i, dan Hambali. Sementara itu, Maliki berpendapat: Hal
demikian tidak dibolehkan.
Empat imam mazhab
sepakat tentang bolehnya mengeluarkan zakat fitrah sehari atau dua hari sebelum
hari raya. Namun, mereka berbeda pendapat jika pembayarannya dua hari setelah
hari raya.
Hanafi: Boleh
mendahulukan pembayaran zakat fitrah sebelum bulan Ramadhan. Syafi’i: Boleh
membayarnya pada awal bulan Ramadhan. Maliki dan Hambali: Tidak boleh
mendahulukan pembayaran zakat fitrah dari waktu wajibnya.[4]
[1] Ahmad Sarwat, FIQH ZAKAT KONTEMPORER, E-Book, hlm 7
[2] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat(Kajian berbagai Mazhab), (Bandung, PT
Remaja Rosdakarya, 1997) hlm. 83-85
[3] Yusuf Al-Qaradawi, FIQHUS ZAKAT, Jilid 1, hlm 38
[4] Syikh Al-Allamah Muhammad Bin Abdulrrahman, Fiqih 4 Mazhab, Ad.
Dimasyqi ,Penerbit Hasyimi Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar