RETHINGKING ISLAM MUHAMMAD ARKOUN
A. Bografi Muhammad Arkoun
Muhammad
Arkoun terlahir dari keluarga Barber sederhana, suku Kabylia di kaki bukit desa
Taorirt-Mimoun, Aljazair pada tanggal 12 januari 1928. Arkoun meneyelesaikan
pendidikan dasar di desanya, dan pendidikan menengah dan pendidikan tingginya
di kota pelabuhan oran, sebuah kota utama yang terletak di Aljazair bagian
barat. Dia kemudian pindah ke Universitas Sorbonne dan meraih gelar Phylosopy
Doctoral pada tahun 1969 M. Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege
bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di
Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi kuliah di
Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Arkoun
diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969.
Arkoun sekarang tinggal di Paris dan menjadi seorang Profesor Emeritus dalam
Islamic Studies di Universitas Sorbonne, Paris-Perancis. Pada November 1992 di
Yogyakarta. Ia sempat memberikan ceramah di UIN Yogyakarta dan Jakarta di depan
forum LKiS dan beberapa lembaga lain.
B.
Pemikiran Muhammad Arkoun[1]
Pemikiran
Muhammad Arkoun yang paling fundamental dalam setiap
penerapannya
untuk
mengkaji islam ada dua konsep:
1.
Konsep Dekonstruksi
Dekonstruksi
berarti pembongkaran dari dalam. Dekonstruksi merupakan alternatif untuk
menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk penafsiran baku.
Arkoun
mengklaim bahwa strategi dekonstruksi yang ia tawarkan sebagai sebuah strategi
terbaik. Strategi ini
berawal dari pendapatnya bahwa sejarah al-Quran sehingga bisa menjadi kitab
suci dan otentik perlu dilacak kembali. Dan ia mengklaim bahwa strateginya itu
merupakan sebuah ijtihad.
Dengan
Ijtihadnya ini Arkoun menyadari bahwa pendekatannya ini akan menantang segala
bentuk penafsiran ulama terdahulu, namun ia justru percaya bahwa pendekatan
tersebut akan memberikan akibat yang baik terhadap al-Quran. Dan menurutnya juga,
pendekatan ini akan memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah
pemahaman yang lebih baik tentang al-Quran, dengan alasan karena metode ini
akan membongkar konsep al-Quran yang selama ini telah ada.
2. Konsep
Historitas
Arkoun
mengatakan “bahwa pendekatan historisitas, sekalipun berasal dari Barat,
namun tidak hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja. Pendekatan tersebut
dapat diterapkan pada semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada
jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks
historis.”
Arkoun juga
menyatakan bahwa Strategi terbaik untuk memahami historisitas keberadaan umat
manusia ialah dengan melepaskan pengaruh idiologis. Sehingga menurutnya,
metodologi multidisiplin dari ilmu sejarah, sosiologi, antropologis,
psikologis, bahasa, semiotik harus digunakan untuk mempelajari sejarah dan
budaya Islam. Jika strategi ini digunakan, maka umat Islam bukan saja akan
memahami secara lebih jelas masa lalu dan keadaan mereka saat ini untuk
kesuksesan mereka di masa yang akan datang, namun juga akan menyumbang kepada
ilmu pengetahuan modern.
Arkoun memperkenalkan
tiga level tingkatan wahyu
yaitu :
Pertama
Wahyu sebagai firman Allah yang tak terbatas dan tidak diketahui oleh manusia,
yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab.
Kedua,
Wahyu yang nampak dalam proses sejarah. Berkenaan dengan Al-Qur’an, hal ini
menunjuk pada realitas Firman Allah sebagaimana diturunkan dalam bahasa Arab
kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun.
Ketiga,
Wahyu sebagaimana tertulis dalam Mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda
yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada al-Mushaf al-Usmani yang dipakai
orang-orang Islam hingga hari ini.
Pendapat
Arkoun bahwa al-Quran yang asli itu tersimpan di Lauh al-Mahfudz diikuti oleh Dawam
Raharjo yang merupakan salah satu perintis liberalisasi Islam di Indonesia pada
tahun 1960-an, ia menyatakan: “Ketika turun kepada Nabi, wahyu itu bekerja
dalam pemikiran Muhammad sehingga mengalami transformasi dari bahasa Tuhan ke
bahasa manusia. Dan ketika wahyu itu disampaikan kepada sahabat, beberapa
sahabat mentransformasikannya pula dalam bentuk transkip yang tunduk kepada
hukum-hukum bahasa yang berlaku. Dan kemudian ketika dilakukan kodifikasi,
komisi yang dibentuk oleh Khalifah Usman melakukan seleksi dan penyusunan dan
pembagian wahyu ke dalam surat-surat menjadi antologi surat-surat. Namun disitu
terdapat peranan dan campur tangan manusia dalam pembentukan teks al-Quran
seperti kita lihat sekarang. Karena adanya campur tangan manusia, wajar jika
terjadi kesalahan dalam proses itu yang mendistrosi wahyu yang semula tersimpan
di Lauh al-Mahfudz itu. Hal itu bisa dipahami melihat kasus kodifikasi hadits
yang mengandung ribuan hadits palsu itu. Apalagi dalam penetapan Mushaf
Utsmani, Khalifah memerintahkan untuk membakar sumber-sumber yang menimbulkan
masalah yang controversial. Namun demikian, siapa tahu di antara berbagai
masalah yang sangat controversial yang dibakar itu justru sesungguhnya terdapat
teks yang benar? Dan sebaliknya juga, siapa tahu bahwa sebagian dari kodifikasi
itu terdapat teks yang keliru? Dalam hal ini, Aisyah sendiri mengakui
kemungkinan terjadinya kecerobohan pada penulisan teks al-Quran.[2]
Pemikiran-pemikiran
Arkoun juga tertuang dalam beberapa
pertanyaan yang membahas tentang hal-hal tertentu misalnya tentang mencitrakan
islam, islam dan muslim, gereja dan negara, sekularisme, nasionalisme
dogma-dogma, dan lain-lain. Disini kita akan membahas beberapa dari penejelasan
Arkoun yang tertuang dalam hal-hal tersebut diatas :
· Islam
dan muslim[3]
Pada umumnya
kata islam diterjemahkan dengan “penyerahan diri”, “penyerahan diri kepada
Tuhan” atau bahkan “kepasrahan”. Bila
diartikan sebagai kepasrahan maka kurang tepat. Orang-orang yang beriman tidak
diperintahkan untuk pasrah di hadapan Tuhan. Mereka mengalami proses dimana
cinta kepada tuhan adalah segalanya suatu transformasi yang mendorong mereka
untuk menerima apa yang dimiliki Tuhan karena Tuhan, melalui wahyu, mengangkat
manusia ke derajatnya sendir. Melalui pengangkatan derajat ini maka timbullah
rasa syukur atas apa yang diberikan Tuhan kepada mahkluk sehingga terbangunlah
suatau hubungan ketaatan yang penuh rasa cinta antara sang Khaliq dan makhluk.
Secara etimologis, kata islam mempunyai arti “menyerahkan sesuatu kepada seseorang”.
Dengan kata lain islam sendiri mengidentifikasikan sebagai “memberikan
keseluruhan jiwa (raga) seseorang kepada Tuhan”. Makna dasarnya adalah
menyerahkan jiwa (raga) untuk tujuan kemuliaan misalnya, dalam suatu peperangan
di jalan Allah, adalah aplikasi yang ekstrim untuk menunjukkan suatu curahan
cinta, suatu bentuk transformasi, yang menyebabkan orang beriman meneriam tanpa
ragu ajaran-jaran Tuhan.
Disebutkan di
dalam Al-Qur’an tentang Ibrahim yang disebut sebagai seorang muslim. Kata
muslim dalam Al-Qur’an memberi pengertian bahwa seoarng muslim adalah seorang
yang berbuat penuh ketaatan disertai rasa cinta kepada Tuhan. Seebagaimana
dicontohkan oleh Ibrahim yang patuh dan tanpa ragu-ragu menjalankan perintah
Tuhan untuk menyembelih atau mengorbankan anaknya. Ketika Al-Qur’an mengatakan bahwa Ibrahim
bukan Yahudi, nasrKetika Al-Qur’an mengatakan bahwa Ibrahim bukan Yahudi
ataupun kristen tetapi melainkan seorang muslim, maka hal ini jelas tidak
menunjuk kepada islam sebagai mana yang telah didefinisikan oleh para teolog
dan juris dalam penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an dan ajaran-ajaran
Muhammad. Dalam konteks itu, muslim diartikan sebagai sebuah sikap religius
yang ideal yang disimbolkan oleh Ibrahim dalam perilakunya, maka tak pelak
Ibrahim dijuluki bapak dari orang-orang yang Beriman. Ia membangun siakap
religius monoteisme (tauhid) sebelum membangun ritual-ritual yang akhirnya akan
menentukan dan mempartikularkan ketiga agama monoteis ini.
Ada satu
pernyataan Arkoun yang perlu kita pikirkan dan telaah kembali, ia berkata
“pengguaan kata dunia “islam” untuk menjelaskan masyarakat yang sangat berbeda
harus dihindari”[4]
pada kalimat ini mengandung makna yang sangat dalam untuk menafsirkan arti dari
islam dan seorang muslim.
· Sekularisme
Kasus
turki dan At taturk (Mustafa Kamal) mendapat analisis panjang karena barat
seringkali memandang dengan mata suka atas sikapnya yang audicious terhadap
nilai barat, sekularisme. Demikianlah sensitivitas intelektual, dunia muslim
dianggaptidak tahu apa-apa tentang gerakan peradaban dan tetap tertutup dari
kemajuan ide-ide dan lembaga.
Kemudian apa yang terjadi ketika
Attaturk memegan kekuasaan setelah kekalahan Turki Usmani? Attaturk
dianggapsebagai pahlawan yang memperadabkan, bapak Turki modern tanpa ragu-ragu
melepaskan negaranya dari konservatisme Turki Usmani dan mengantarkannya menuju
modernitas dengan suatu metode, keyakinan, dan model yang masih sangat
diperdebatkan.
Pandangan Attaturk tentang islam
disatu pihak dan tentang sekularisme disisi lain merupakan kondisi kesadaran
naïf yang dijumpai dikalangan mayoritas kalangan intelektual muslim.
Sekularisme dipahami sebagai salah satu resep yang harus diterapkan pada
masyarakat, dimana agama mengontrol semua kejadian dan gerak gerik kehidupan.
Attatruk menyerang dunia semiologis
muslim dengan menggantikan huruf arab dengan huruf latin, sorban dengan topidan
menggantikan huruf syariah dengan kode hokum swiss.
Semuasistem-sistemsemiologis yang mempengaruhi sensibilitas individu
dankolektif serta control dan bentuk-bentuk pemahamanapriori secara resmi
dihapus dan siap digantikan dengan system-sistem Eropa.
Revolusi attaturk merupakan
kemenangan nalar positivis dan historisis yang secara radikal terputus dari
kesadaran mistis dimana mayoritas orang orang beriman, ulama, dan orang awam
terus bergerak. Terobosan ideologis antara pemimpin pemimpin revolusionerdan
massa yang mereka klaim beremansipasi merusak capital symbol yang ditanam oleh
tradisi yang hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar