Pemerintah Indonesia
telah mempunyai seperangkat peraturan yang mengatur penyelenggaraan undian dan
penertiban perjudian, antara lain :
1.
UU nomor 38 tahun 1947 tentang
undian uang negara.
2.
UU nomor 22 tahun 1954 tentang
undian.
3.
UU nomor 7 tahun 1974 tentang
penertiban perjudian.
Pada tahun 60-an
masyarakat pernah dilanda oleh lotre, terutama lotre buntut, yang akhirnya
dilarang oleh presiden Soekarno dengan Keppres No 133 tahun 1965. Presiden
mengeluakan Keppres karena lotre buntut dianggap dapat merusak moral bangsa dan
digolongkan sebagai subversi.
Muktamar majelis
Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo yang dilaksanakan pada tanggal 27 – 31 Juli
1969 memutuskan antara lain, bahwa Lotto, Nalo dan sesamanya adalah termasuk
perjudian. Oleh karena itu hukumnya haram, konsideransnya sebagai berikut :
1.
Lotto , Nalo, porkas dan
sejenisnya pada hakikat dan sifatnya sama dengan dalil taruhan dan perjudian.
2.
Karena Lotto, Nalo, porkas dan
sejenisnya termasuk perjudian, maka berlaku nash dalam Al Quran QS. Al Baqarah
ayat 219
ﻴﺳﺌﻟﻭ ﻧﻚ ﻋﻦ ﺍﻠﺨﻤﺮ ﻭﻠﻤﻴﺳﺮۗ ﻗﻝ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﺇﺜﻢ ﻛﺑﻴﺮ ﻭﻤﻨﺎﻓﻊ ﻠﻟﻨﺎ ﺲۖ ﻭ ﺇﺜﻤﻬﻤﺎ ﺃﻜﺑﺭ ﻤﻦ ﻧﻓﻌﻬﻤﺎ
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi. Katakanlah, “ pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.
3.
muktamar mengakui bahwa hasil
Lotto dan Nalo yang diambil oleh pihak penyelenggara mengandung manfaat bagi
masyarakat sepanjang bagian hasil itu benar benar dipergunakan bagi
pembangunan.
4.
bahwa mudharat yang ditimbulkan
akibat dari perjudian dan taruhan dalam masyarakat jauh lebih besar dari
manfaat yang diperoleh dari penggunaan hasilnya.
Begitu juga dengan
seratus ulama Jawa Barat yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Ulama dan
Cendekiawan Jawa Barat pada akhir april 1986, dengan tegas menyatakan porkas
sebagai judi dan haram. Pernyataan itu disampaikan kepada pemerintah, agar
departemen social mencabut izin pelaksanaan porkas.
Rasyid Ridha
mengatakan bahwa dalil syar’i yang mengharamkan semua perjudian termasuk di
dalamnya lotre atau undian adalah dalil yang qath’i dilalah-nya, artinya dalil
yang sudah pasti dan jelas petunjuknya sehingga tidak dapat diragukan lagi.
Akan tetapi beliau tidak mengharamkan lotre atau undian yang
diselenggarakan oleh pemerintah atau lembaga sosial non pemerintah yang semata
mata menghimpun dana guna kepentingan umum atau Negara. Karena manfaatnya lebih
besar daripada mudharatnya. Akan tetapi beliau juga tidak menghalalkan bagi
orang yang berhasil mendapat hadiah dari undian untuk mengambil hadiahnya,
karena dianggap makan harta orang lain dengan cara yang bathil, meskipun tidak
menyebabkan lupa pada Allah SWT, permusuhan dan kebencian antara mereka yang
turut dalam undian. Sebaliknya lotre atau undian yang diselenggarakan ukan
untuk kepentingan umum atau Negara, maka dilarang oleh agama, karena
madharatnya jauh lebih besar daripada manfaatnya.
Hal ini dijelaskan dalam
kaidah hukum islam :
ﺪﺭﺀﺍﻠﻤﻓﺎﺳﺪﻤﻗﺪﻡﻋﻠﯽﺟﻠﺏﺍﻠﻤﺼﺎﻠﺡ
.
Artinya : Menghindari kerusakan kerusakan harus
didahulukan daripada menarik
kebaikan kebaikan.
Menurut Prof. K. H
.Ibrahim Hosen ialah “ maisir / judi
adalah suatu permainan yang mengandung unsure taruhan yang dilakukan secara
berhadap hadapan oleh dua orang atau lebih”, jadi illat ( penyebab ) haramnya maisir
/ judi adalah berhadap hadapan yang mana di dalamnya terkandung hikmah yang
membuat maisir / judi ini dilarang yakni menimbulkan permusuhan dan
kebencian antar pelaku dan menyebabkan lupa kepada Allah SWT serta lalai dari
kewajibannya. Akan tetapi pendapat prof. K. H. Ibrahim Hosen, bahwa undian
harapan, sumbangan sosial berhadiah dan sebagainya yang diselenggarakan oleh
pempentingan umum bukan perintah maupun swasta, yang bertujuan untuk mendapat
keuntungan yang nantinya akan dipergunakan untuk untuk kepentingan umum, bukan
merupakan judi / maisir.
Akan tetapi H. S.
Muchlis menjelaskan bahwa judi tidak harus ada unsure berhadap hadapan para
pelakunya. Menurut beliau ada dua unsure yang merupakan suatu syarat formal,
sehingga suatu perbuatan bias dianggap sebagai judi / maisir, yaitu :
1.
ada dua pihak yang saling
bertaruh. Pihak yang menang dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian atau
rumusan tertentu.
2.
menang atau kalah dikaitkan
dengan kesudahan suatu peristiwa yang berada di luar kekuasaan, dan diluar
pengetahuan para petaruh.
Sehingga menurut H. M. Muchlis sumbangan sosial berhadiah dan porkas
secara formal bukan merupakan judi, karena yang menyelenggarakan bukan
bertujuan mengumpulkan dana untuk kepentingan pribadi. Jadi dapat disimpulkan
bahwa beliau dapat menyetujui asal dipergunakan untuk mengumpulkan dana guna
membantu lembaga lembaga sosial, negara dan agama Islam, dengan syarat clean and open management ( bersih dan
terbuka pengelolaannya ).
Menurut Abdurahman
Isa, undian berhadiah untuk amal itu tidak termasuk judi. Karena pengertian
judi menurut ulam syafi’i adalah “ antara kedua belah pihak yang berhadapan itu
masing masing ada unsure untung rugi”. Abdurahman Isa menambahkan, bahwa Islam membolehkan
bahkan merekomendasikan terhadap usaha menghimpun dana guna membantu lembaga
sosial keagamaan dengan memakai system undian berhadiah, karena undian
berhadiah untuk amal itu pihak penyelenggara tidak menghadapi untung rugi,
sebab uang yang masuk sudah ditentukan untuk dana sosial
( sesuai ketentuan yang diberlakukan ). Hal ini dilakukan agar
masyarakat tertarik untuk membantu usaha sosial itu. Misalnya undian berhadiah
yang dilakukan di mesir, yang darinya diberlakukan beberapa ketentuan.
Adapun yang
dimaksud dengan perlombaan berhadiah adalah perlombaan yang bersifat adu
kekuatan. Pada prinsipnya, lomba seperti itu diperbolehkan dalam agama, asal tidak
membahayakan keselamatan jiwa dan badan. Dan uang / hadiah yang diperoleh dari
hasil perlombaan tersebut diperbolehkan oleh agama dengan syarat :
1.
uang / hadiah lomba itu
disediakan oleh pemerintah atau sponsor non pemerintah untuk para pemenang.
2.
uang / hadiah lomba itu
merupakan janji salah satu dari dua orang yang berlomba kepada lawannya, jika
ia dapat dikalahkan oleh lawannya itu.
3. uang / hadiah lomba itu disediakan oleh para pelaku lomba dan mereka
disertai muhallil.
Abdurahman Isa juga
menegaskan, bahwa menyelenggarakan undian berhadiah yang dikaitkan dengan
sesuatu yang haram menurut Islam maka hukumnyapun turut menjadi haram, walaupun
undian berhadiah itu dilakukan untuk membantu proyek sosial keagamaan.
Selanjutnya
diketahui berbagai macam undian berhadiah, antara lain :
1.
undian tanpa syarat
Bentuk dan contohnya : Di pusat-pusat perbelanjaan, pasar, pameran
dan semisalnya sebagai langkah untuk menarik pengunjung, kadang dibagikan kupon
undian untuk setiap pengunjung tanpa harus membeli suatu barang. Kemudian
setelah itu dilakukan penarikan undian yang dapat disaksikan oleh seluruh
pengunjung.
Hukumnya : Bentuk undian yang seperti ini adalah boleh. Karena asal dalam suatu mu’amalah adalah boleh dan halal. Juga tidak terlihat dalam bentuk undian ini hal-hal yang terlarang berupa kezhaliman, riba, gharar,penipuan dan selainnya.
Hukumnya : Bentuk undian yang seperti ini adalah boleh. Karena asal dalam suatu mu’amalah adalah boleh dan halal. Juga tidak terlihat dalam bentuk undian ini hal-hal yang terlarang berupa kezhaliman, riba, gharar,penipuan dan selainnya.
2.
Undian dengan syarat membeli
barang
Bentuknya :
Undian yang tidak bisa diikuti kecuali oleh orang membeli barang
yang telah ditentukan oleh penyelenggara undian tersebut.
Hukumnya : Haram dan tidak boleh. Karena ada tambahan harga berarti
ia telah mengeluarkan biaya untuk masuk kedalam suatu mu’amalat yang mungkin ia
untung dan mungkin ia rugi. Dan ini adalah maisir yang diharomkan dalam syariat
Islam.
Jika undian berhadiah tersebut tidak mempengaruhi harga produk.
Hukumnya :Ada
dua pendapat dalam masalah ini :
1. Hukumnya harus dirinci.
Jika undian berhadiah tersebut tidak mempengaruhi harga produk.
Hukumnya :
1. Hukumnya harus dirinci.
Kalau ia membeli barang dengan maksud untuk ikut
undian maka ia tergolong kedalam maisir/qimar yang diharamkan dalam syariat
karena pembelian barang tersebut adalah sengaja mengeluarkan biaya untuk bisa
ikut dalam undian. Sedang ikut dalam undian tersebut ada dua kemungkinan;
mungkin ia beruntung dan mungkin ia rugi. Maka inilah yang disebut
Maisir/Qimar.
Adapun kalau dasar maksudnya adalah butuh kepada barang/produk tersebut setelah itu ia mendapatkan kupon untuk ikut undian maka ini tidak terlarang karena asal dalam muámalat adalah boleh dan halal dan tidak bentuk Maisir maupuun Qimar dalam bentuk ini.
Adapun kalau dasar maksudnya adalah butuh kepada barang/produk tersebut setelah itu ia mendapatkan kupon untuk ikut undian maka ini tidak terlarang karena asal dalam muámalat adalah boleh dan halal dan tidak bentuk Maisir maupuun Qimar dalam bentuk ini.
2. Hukumnya adalah haram
secara mutlak.
Ini adalah pendapat Syaikh Abdul’Äziz bin Baz.
Alasannya karena hal tersebut tidak lepas dari bentuk Qimar/Maisir dan mengukur
maksud pembeli, apakah ia memaksudkan barang atau sekedar ingin ikut undian
adalah perkara yang sulit.
3.Undian dengan mengeluarkan biaya
Bentuknya: Undian yang bisa diikuti setiap orang yang membayar biaya untuk ikut undian tersebut. Hukumnya: Haram dan tidak boleh. Karena mengeluarkan biaya untuk suatu yang mu’amalat yang belum jelas beruntung tidaknya itu termasuk Qimar/Maisir.
Bentuknya: Undian yang bisa diikuti setiap orang yang membayar biaya untuk ikut undian tersebut. Hukumnya: Haram dan tidak boleh. Karena mengeluarkan biaya untuk suatu yang mu’amalat yang belum jelas beruntung tidaknya itu termasuk Qimar/Maisir.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhdi, mashful, 1990, Masail Fiqhiyah, Jakarta : CV. Haji Masagung.
Hasan, ali, 1997, Masail Fiqhiyah Al Haditsah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Shalaby, ahmad, 2001, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam, Jakarta : PT. Amzah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar