Sabtu, 15 Juni 2013

HUKUM UNDIAN BERHADIAH DALAM ISLAM




            Pemerintah Indonesia telah mempunyai seperangkat peraturan yang mengatur penyelenggaraan undian dan penertiban perjudian, antara lain :
1.     UU nomor 38 tahun 1947 tentang undian uang negara.
2.     UU nomor 22 tahun 1954 tentang undian.
3.     UU nomor 7 tahun 1974 tentang penertiban perjudian.
            Pada tahun 60-an masyarakat pernah dilanda oleh lotre, terutama lotre buntut, yang akhirnya dilarang oleh presiden Soekarno dengan Keppres No 133 tahun 1965. Presiden mengeluakan Keppres karena lotre buntut dianggap dapat merusak moral bangsa dan digolongkan sebagai subversi.
            Muktamar majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo yang dilaksanakan pada tanggal 27 – 31 Juli 1969 memutuskan antara lain, bahwa Lotto, Nalo dan sesamanya adalah termasuk perjudian. Oleh karena itu hukumnya haram, konsideransnya sebagai berikut :
1.     Lotto , Nalo, porkas dan sejenisnya pada hakikat dan sifatnya sama dengan dalil taruhan dan perjudian.
2.     Karena Lotto, Nalo, porkas dan sejenisnya termasuk perjudian, maka berlaku nash dalam Al Quran QS. Al Baqarah ayat 219

ﻴﺳﺌﻟﻭ ﻧﻚ ﻋﻦ ﺍﻠﺨﻤﺮ ﻭﻠﻤﻴﺳﺮۗ  ﻗﻝ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﺇﺜﻢ ﻛﺑﻴﺮ ﻭﻤﻨﺎﻓﻊ ﻠﻟﻨﺎ ﺲۖ  ﻭ ﺇﺜﻤﻬﻤﺎ ﺃﻜﺑﺭ ﻤﻦ ﻧﻓﻌﻬﻤﺎ                   

Artinya :  Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, “ pada  keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa     keduanya lebih besar dari manfaatnya”.
3.     muktamar mengakui bahwa hasil Lotto dan Nalo yang diambil oleh pihak penyelenggara mengandung manfaat bagi masyarakat sepanjang bagian hasil itu benar benar dipergunakan bagi pembangunan.
4.     bahwa mudharat yang ditimbulkan akibat dari perjudian dan taruhan dalam masyarakat jauh lebih besar dari manfaat yang diperoleh dari penggunaan hasilnya.
            Begitu juga dengan seratus ulama Jawa Barat yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Ulama dan Cendekiawan Jawa Barat pada akhir april 1986, dengan tegas menyatakan porkas sebagai judi dan haram. Pernyataan itu disampaikan kepada pemerintah, agar departemen social mencabut izin pelaksanaan porkas.
            Rasyid Ridha mengatakan bahwa dalil syar’i yang mengharamkan semua perjudian termasuk di dalamnya lotre atau undian adalah dalil yang qath’i dilalah-nya, artinya dalil yang sudah pasti dan jelas petunjuknya sehingga tidak dapat diragukan lagi.
Akan tetapi beliau tidak mengharamkan lotre atau undian yang diselenggarakan oleh pemerintah atau lembaga sosial non pemerintah yang semata mata menghimpun dana guna kepentingan umum atau Negara. Karena manfaatnya lebih besar daripada mudharatnya. Akan tetapi beliau juga tidak menghalalkan bagi orang yang berhasil mendapat hadiah dari undian untuk mengambil hadiahnya, karena dianggap makan harta orang lain dengan cara yang bathil, meskipun tidak menyebabkan lupa pada Allah SWT, permusuhan dan kebencian antara mereka yang turut dalam undian. Sebaliknya lotre atau undian yang diselenggarakan ukan untuk kepentingan umum atau Negara, maka dilarang oleh agama, karena madharatnya jauh lebih besar daripada manfaatnya.
 Hal ini dijelaskan dalam kaidah hukum islam :

ﺪﺭﺀﺍﻠﻤﻓﺎﺳﺪﻤﻗﺪﻡﻋﻠﯽﺟﻠﺏﺍﻠﻤﺼﺎﻠﺡ                                                                                                                           .

Artinya :  Menghindari kerusakan kerusakan harus didahulukan daripada menarik 
                 kebaikan kebaikan.         
            Menurut Prof. K. H .Ibrahim Hosen ialah “ maisir / judi adalah suatu permainan yang mengandung unsure taruhan yang dilakukan secara berhadap hadapan oleh dua orang atau lebih”, jadi illat ( penyebab ) haramnya maisir / judi adalah berhadap hadapan yang mana di dalamnya terkandung hikmah yang membuat  maisir / judi ini dilarang yakni menimbulkan permusuhan dan kebencian antar pelaku dan menyebabkan lupa kepada Allah SWT serta lalai dari kewajibannya. Akan tetapi pendapat prof. K. H. Ibrahim Hosen, bahwa undian harapan, sumbangan sosial berhadiah dan sebagainya yang diselenggarakan oleh pempentingan umum bukan perintah maupun swasta, yang bertujuan untuk mendapat keuntungan yang nantinya akan dipergunakan untuk untuk kepentingan umum, bukan merupakan judi / maisir.
            Akan tetapi H. S. Muchlis menjelaskan bahwa judi tidak harus ada unsure berhadap hadapan para pelakunya. Menurut beliau ada dua unsure yang merupakan suatu syarat formal, sehingga suatu perbuatan bias dianggap sebagai judi / maisir, yaitu :
1.     ada dua pihak yang saling bertaruh. Pihak yang menang dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian atau rumusan tertentu.
2.     menang atau kalah dikaitkan dengan kesudahan suatu peristiwa yang berada di luar kekuasaan, dan diluar pengetahuan para petaruh.
Sehingga menurut H. M. Muchlis sumbangan sosial berhadiah dan porkas secara formal bukan merupakan judi, karena yang menyelenggarakan bukan bertujuan mengumpulkan dana untuk kepentingan pribadi. Jadi dapat disimpulkan bahwa beliau dapat menyetujui asal dipergunakan untuk mengumpulkan dana guna membantu lembaga lembaga sosial, negara dan agama Islam, dengan syarat clean and open management ( bersih dan terbuka pengelolaannya ).
            Menurut Abdurahman Isa, undian berhadiah untuk amal itu tidak termasuk judi. Karena pengertian judi menurut ulam syafi’i adalah “ antara kedua belah pihak yang berhadapan itu masing masing ada unsure untung rugi”. Abdurahman  Isa menambahkan, bahwa Islam membolehkan bahkan merekomendasikan terhadap usaha menghimpun dana guna membantu lembaga sosial keagamaan dengan memakai system undian berhadiah, karena undian berhadiah untuk amal itu pihak penyelenggara tidak menghadapi untung rugi, sebab uang yang masuk sudah ditentukan untuk dana sosial
( sesuai ketentuan yang diberlakukan ). Hal ini dilakukan agar masyarakat tertarik untuk membantu usaha sosial itu. Misalnya undian berhadiah yang dilakukan di mesir, yang darinya diberlakukan beberapa ketentuan.
            Adapun yang dimaksud dengan perlombaan berhadiah adalah perlombaan yang bersifat adu kekuatan. Pada prinsipnya, lomba seperti itu diperbolehkan dalam agama, asal tidak membahayakan keselamatan jiwa dan badan. Dan uang / hadiah yang diperoleh dari hasil perlombaan tersebut diperbolehkan oleh agama dengan syarat :
1.     uang / hadiah lomba itu disediakan oleh pemerintah atau sponsor non pemerintah untuk para pemenang.
2.     uang / hadiah lomba itu merupakan janji salah satu dari dua orang yang berlomba kepada lawannya, jika ia dapat dikalahkan oleh lawannya itu.
3.     uang / hadiah lomba itu disediakan oleh para pelaku lomba dan mereka disertai muhallil.
            Abdurahman Isa juga menegaskan, bahwa menyelenggarakan undian berhadiah yang dikaitkan dengan sesuatu yang haram menurut Islam maka hukumnyapun turut menjadi haram, walaupun undian berhadiah itu dilakukan untuk membantu proyek sosial keagamaan.
            Selanjutnya diketahui berbagai macam undian berhadiah, antara lain :
1.       undian tanpa syarat  
              Bentuk dan contohnya : Di pusat-pusat perbelanjaan, pasar, pameran dan semisalnya sebagai langkah untuk menarik pengunjung, kadang dibagikan kupon undian untuk setiap pengunjung tanpa harus membeli suatu barang. Kemudian setelah itu dilakukan penarikan undian yang dapat disaksikan oleh seluruh pengunjung.
                 Hukumnya : Bentuk undian yang seperti ini adalah boleh. Karena asal dalam suatu mu’amalah adalah boleh dan halal. Juga tidak terlihat dalam bentuk undian ini hal-hal yang terlarang berupa kezhaliman, riba, gharar,penipuan dan selainnya.

2.     Undian dengan syarat membeli barang
             Bentuknya : Undian yang tidak bisa diikuti kecuali oleh orang membeli barang
yang telah ditentukan oleh penyelenggara undian tersebut.
Hukumnya : Haram dan tidak boleh. Karena ada tambahan harga berarti ia telah mengeluarkan biaya untuk masuk kedalam suatu mu’amalat yang mungkin ia untung dan mungkin ia rugi. Dan ini adalah maisir yang diharomkan dalam syariat Islam.
                            Jika undian berhadiah tersebut tidak mempengaruhi harga produk.
Hukumnya : Ada dua pendapat dalam masalah ini :
1. Hukumnya harus dirinci.
                 Kalau ia membeli barang dengan maksud untuk ikut undian maka ia tergolong kedalam maisir/qimar yang diharamkan dalam syariat karena pembelian barang tersebut adalah sengaja mengeluarkan biaya untuk bisa ikut dalam undian. Sedang ikut dalam undian tersebut ada dua kemungkinan; mungkin ia beruntung dan mungkin ia rugi. Maka inilah yang disebut Maisir/Qimar.
                 Adapun kalau dasar maksudnya adalah butuh kepada barang/produk tersebut setelah itu ia mendapatkan kupon untuk ikut undian maka ini tidak terlarang karena asal dalam muámalat adalah boleh dan halal dan tidak bentuk Maisir maupuun Qimar dalam bentuk ini.
  2. Hukumnya adalah haram secara mutlak.
                 Ini adalah pendapat Syaikh Abdul’Äziz bin Baz. Alasannya karena hal tersebut tidak lepas dari bentuk Qimar/Maisir dan mengukur maksud pembeli, apakah ia memaksudkan barang atau sekedar ingin ikut undian adalah perkara yang sulit.
   3.Undian dengan mengeluarkan biaya 
           Bentuknya: Undian yang bisa diikuti setiap orang yang membayar biaya untuk ikut undian tersebut.
Hukumnya: Haram dan tidak boleh. Karena mengeluarkan biaya untuk suatu yang mu’amalat yang belum jelas beruntung tidaknya itu termasuk Qimar/Maisir.



DAFTAR PUSTAKA
www.pengusahamuslim.com
Zuhdi, mashful, 1990, Masail Fiqhiyah, Jakarta : CV. Haji Masagung.
Hasan, ali, 1997, Masail Fiqhiyah Al Haditsah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Shalaby, ahmad, 2001, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam, Jakarta : PT. Amzah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar