Sistem
pendidikan al-ghazali sangat dipengaruhi luasnya ilmu pengetahuan yang
dikuasainya, sehingga dijuluki filosof yang ahli tasawuf (Failasuf
al-Mutasawwifin)[1]
Dua corak ilmu yang telah terpadu dalam dirinya itu kemudian turut mempengaruhi
formulasi komponen-komponen dalam system pendidikannya. Ciri khas system
pendidikannya al-Ghazali sebenarnya terletak pada pengajaran moral religious
dengan tanpa mengabaikan urusan dunia [2]
1.
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi
tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan
dan taqorrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau
mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selain
untuk mendekaykan diri kepada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan
kemudharatan. Al-Ghazali berkata :
“hasil dari ilmu sesungguhnya ialah mendekatkan diri kepada Allah, dan
menghubungkan diri dengan para malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam
arwah, itu semua adalah keberasan, pengaruh penerintahan bagi raja-raja dan
penghormatan secara naluri”[3]
Menurut al-Ghazali, pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan.
Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah memperoleh ilmu
pengetahuan. Ilmi pengetahuan itu tidak akan diperoleh kecuali melalui
pengajaran. Selanjutnya, dari kata-kata tersebut dapat difahami bahwa menuru
al-Ghazali tujuan pendidikan dapat dibagi menjadi 2 yaitu tujuan jangka panjang
dan pendek.
a.
Tujuan pendidikan jangka panjang
Adalah mendekatkan diri kepada Allah,
pendidikan dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan
kemudia pendekatan diri kepada Allah. Menurut konsep ini, dapat dinyatakan
bahwa semakin lama seseorang duduk dibangku pendidikan, semakin bertambah ilmu
pengetahuannya, maka semakin mendekat kepada Allah.
Tentu saja
untuk mewujudkan hal itu bukanlah system pendidikan yang memisahkan ilmu-ilmu
keduniaan dari nilai-nilai kebenaran dan sikap religius , tetapi system
pendidikan yang memadukan keduanya secara integral. System inilah yang mampu
membentuk manusia yang mampu melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan dan system
pemdidikan al-Ghazali mengarah kesana.
b.
Tujuan pendidikan jangka pendek
Adalah diraihnya profesi manusia sesui dengan bakat dan
kemampuan nny. Syarat untuk mencapai tujuan itu manusia, mengembangkan ilmu
pengetahuan baik yang fardu ‘ain dan fardu kifayah[4]
Kesimpulan tujuan pendidikan menurut al-Ghazali :
a.
Mendekatkan diri kepada Allah,
yang wujudnya adalah kemampuan dan denfgan kesadaran diri melaksanakan ibadah
wajib dan sunnah
b.
Menggali dan mengambangkan
potensi atau fitrah manusia
c.
Mewujudkan profesionalisasi
manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya
d.
Membentuk manusia yang
berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela
e.
Mengembangkan sifat-sifat
manusia yang utama sehingga menjadi manusia yang manisiawi
2.
Kurikulum Pendidikan
Pandangan al-Ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangan
mengenai tentang ilmu pengetahuan. Kurikulum pendidikan yang disusun al-ghazali
sesuai pandanganya mengenai tujuan pendidikan yakni mendekatkan diri kkepada
Allah yang merupakan tolak ukur manusia. Untuk menuju kesana diperlukan ilmu
pengetahuan
Mengurai kurikulum pendidikan menurut al-ghazali, ada dua hal yang
menarik bagi kita. Pertama, pengklasifikasian terhadap ilmu pengetahuan yang
sangat terperinci yang segala aspek yang terkait denganya. Kediua, pemikiran
tentang manusia dengan segala potensi yang dibawanya sejak lahi. Semua manusia
esensinya sama. Ia sudah kenal betul dengan pencipta sehingga selalu mendekat
padanya dan itu tidak akan berubah.[5]
Al-ghazali mengklasifikasikan manusia adalah pribadi yang satu yang
tidak dapat disamakan dengan pribadi yang lain. Tingkat pemahaman, daya
tangkap, dan daya ingatnya terhadap ilmu pengetahuan, kemampuan menjalankan
tugas hidupnya berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu
dalam kaitanya dengan kurikulum al-ghazali mendasarkan pemikiranya bahwa
kurikulum pendidikan harus disusun dan selanjutnya disampaikan kepada murid
sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan psikisnya.
Selanjutnya al-ghazali membagi ilmu pengetahuan dari beberapa sudut
pandang, yaitu :
a.
Berdasarkan pembidangan ilmu
Dibagi menjadi dua bidang, yaitu imu syari’ah sebagai
ilmu terpuji terdiri atas : iilmu ushul, ilmu furu’, ilmu pengantar.muqoddimah,
dan ilmu pelengkap. Yang kedua yaitu ilmu bukan syari’ah terdiri dari ilmu
kedokteran, ilmu hitung, perttanian, pembangunan, tata pemerintahan, industry,
kebudayaan, sastra, ilm,u tenun dan pengolahyan pangan
b.
Berdasarkan objek
Ilmu dibagi atas tiga kelompok, yaitu :
1.
Ilmu pengetahuan yang tercela
secara mutlak baik sedikit ,maupun banya. Seperti, sihir, azimat, dan ilmu
tentang ramalan nasib
2.
Ilmu pengetahuan yang terpuji.
Seperti ilmu agama, dan ilmu tentang beribadat.
3.
Ilmu pengethuan yang dalam
kadar tertentu terpuji tapi jika mendalmin ya tercela. Seperti dari filsafat
naturalism. Menurut al-ghazali ilmu tersebut juka diperdalam akan menimbulkan
kekacauan fikirann dan keraguan, sehingga mendorong manusia kepada kufur dan
ingkar.[6]
c.
Berdasarkan status hukum
mempelajarinya yang terkait dengan nilau guna.
Dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1.
fardu ain, yang wajib
dipelajari setiap individu misalkan illmu agama dan cabang-cabangnya
2.
fardu kifayah, yaitu ilmu yang
tidak diwajibjklan pada setiap muslim tetapi harus ada diantra orang muslim
yang mempelajarinya. Misalkan ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian, politik,
dan pengobatan tradisional.
3.
Pendidik
Dalam hal ini al-ghozali berkata : “ makhluk yang paling mulia di
muka bumi adalah manusia. Sedangkan yang paling mulia penampilanya ialah
kalbunya. Guru atau pengajar se;a;u menyempurnakan, mengagungkan dan mensucikan
kalbu itu serta menuntutnya untuk dekat kepada Allah”.[7]
Dia juga berkata ; “ seseorang yang berilmu dan kemuudian bekerja
dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakn oranbg besar dibawah kolong langit
ini. Ia bagai matahari yang mencahayai orang lain, sedangkan ia sendiri pun
bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain, ia sendiri
pun harum,. “[8]
Menurut al-ghozali
pendidik.guru memiliki sifat-sifat, yaitu[9]
:
1.
Bertanggug jawab
2.
Sabar
3.
Duduk tenang penuh wibawa
4.
Tidak sombong terhadap semua
orang, kecuali terhadap orang yang dolim dengan tuyjuan untuk menghentikan
kiedolimanya.
5.
Mengutamakn bersikap tawadhu’
di majlis-majlis pertemuan
6.
Tidak suka bergurau dan
bercanda
7.
Ramah terhadap para pelajar
8.
Teliti dan setia mengawasi anak
yang nakal
9.
Setia membimbing anak yang
bebal
10.
Tidak gampang marah kepada anak
yang bebal dan lambat pemikiranya
11.
Tidak malu berkata : saya tidak
tau ketika ditanya persoalan yang belum ditekuninya.
12.
Memperhatikan murid yang
bertanya dan berusaha menjawabnya dengan baik.
13.
Manerima alas an yang diajukan
kepadanya
14.
Tunduk kepada kebenaran
15.
Melarang murid yang mempelajari
ilmu yang membahayakan.
16.
Memperingatkan murid
mempelajari ilmu agama tetapi untuk kepentingan selain Allahg
17.
Memperingatkan murid agar tidak
sibuk mempelajari ilmu fardu kifayah sebelum selesai dengan mempelajari ilmu
fardu ain
18.
Memperbaiki ketaqwaaanya kepada
Allah
19.
Mempraktekkan makna taqwa dalam kehidupan sehari-harinya ssebelum
memerintahkan kepada murid agar murid mengikuti perbuatanya dan agar murid
mrngambil manfaat ucapan-ucapanya.
4.
Peserta didik
Al-ghazali berkata : “ Seorang
pelajar hendaknya tidak menyobongkan diri dengan ilmunya dan jangan menentang
gurunya. Tetapi menyerah sepenuhnya kepada guru dengan keyakinan kepada segala
nasihatnya sebagaimana seoorang sakit yang bodoh yakin kepada dokter yang ahli
dan berpengalaman. Seharusnya seorang pelajar itu tunduk kepada gurunya,
mengaharap pahala dan kemuliaan dengan tunduk kepadanya.”[10]
Sedangkan
peserta didik menurut al-ghozali dalam bidayatul hidayah adalah sebagai berikut
[11]:
1.
Hendaknya member ucapan salam
kepada guru terlebih dahulu
2.
Tidak banyak bicara dihadapanya
3.
Tidak berbiicara selagi tidak
ditnya gurunya
4.
Tidak bertanya sebelum memintya
izin terlebih dahulu
5.
Tidak menentang ucapan guru
dengan ucapan (pendapat) orang lain
6.
Tidak menampakkan penentanganya
terhadap pendapatr gurunya, apalagi menganggap gurunya paling pandai dari
gurunya
7.
Tidak boleh berisik kepada
teman yang duduk disebelahnya ketika guru sedang berada dalam majlis itu
8.
Tidak menoleh-noleh ketika
sedang berada di depan gurunya., tettapi harus menundukkan kepala dan tengang
seperti dia sedang melakukan shalat
9.
Tidak banyak bertanya kepada
guru, ketika dia dalam keadaan letih
10.
Hendaknya berdiri ketika
gurunya berdiri dan tidak berbicara denganya ketika dia sudah berabjak dari
tempat duduknya
11.
Tidak mengajukan pertanyaan
kepadda guru ditengah perjalananya
12.
Tidak berprangkan buruk pada
guru ketika ia melakukan perbuatan yang dhohitnya munkar, sebab dia lebih
mengetrahui rahasis (perbuatanya)
5.
Media dan Metode
6.
Proses
[1] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta; Bulan Bintang
1976) Hal 197
[2] Fatiah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi al-Ghazali, Bandung;
PT al-Ma’arif, 1986, hal 24
[3] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 1 Masyhadul Husaini. Hal 13
[4] DRS. Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan
. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 1998. Hal 59
[5] Ibid. hal. 90
[6] Jaluddin dan usman said, Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta
: rajawali pers, 1994). Hal. 142-143
[7] Ibid. Al-ghazali,hal.
14
[8] Ibid.
[9] Imam abu hamid Al-ghazali, Bidayatul
hidayah, penerjemah HM. Fadil saad. (Al-hidayah:Surabaya) hal. 182
[10] Ibid Al-ghozali juz 1 hal. 49-50
[11] Ibid hal 183-184
Tidak ada komentar:
Posting Komentar