Jumat, 14 Juni 2013

ESENSIALISME




Essensialisme pertama-tama muncul pada awal tahun 1930, yang dipelopori oleh William C Bagley, Isaac L Kandel dan Frederick Breed. Dan pada tahun 1938 mereka mendirikan organisasi dalam bentuk komite esensialis untuk pertimbangan pendidikan di Amerika. Organisasi utama kedua didirikan pada tahun 1950an berupa Dewan Pendidikan Dasar di Amerika dengan juru bicara Himpunan organisasi ini adalah Mortimer Smith dan Arthur Bestor. [1]
Esensialisme merupakan suatu aliran filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik terhadap trend-trend progresif di sekolah-sekolah yang penuh fleksibilitas, terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu sehingga pendidikan seperti ini cenderung mengabaikan kurikulum yang telah ditentukan dan yang menjadi tradisi sekolah. Oleh karena itu  esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan, memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Para esensialis berpendapat bahwa pengalaman-pengalaman yang diberikan kepada anak harus memiliki nilai esensial dan juga harus memusatkan perhatian kepada kurikulum yang dirancang untuk menanamkan keterampilan-keterampilan dasar yang seharusnya dimiliki oleh anak.
Kalangan esensialis setuju dengan penilaian kalangan perenialis bahwa praktek kependidikan progresif terlalu “lembek” karena dalam upayanya menjadikan belajar sebagai sebuah kesungguhan usaha yang tanpa “derita”. Ia menjauh dari persoalan-persoalan dasar kependidikan. Contohnya, dalam penguasaan “alat-alat” belajar 3R (Reading, Writing, dan Aritmatik) adalah kemampuan dasar membaca, menulis dan berhitung.
Esensialisme, yang memiliki beberapa kesamaan dengan perenialisme, berpendapat bahwa kultur atau budaya kita telah memiliki suatu inti pengetahuan umum yang harus diberikan  di sekolah-sekolah kepada para siswa dalam suatu cara yang sistematik dan berdisiplin.
Esensialisme, seperti halnya perenialisme dan progresivisme bukan merupakan suatu aliran filsafat tersendiri, yang mendirikan suatu bangunan filsafat, melainkan merupakan suatu gerakan dalam pendidikan yang memprotes terhadap pendidikan progresivisme. Dalam pemikiran pendidikannya memang pada umumnya didasari atas filsafat Idealisme dan realisme yang membentuk corak essensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagi pendukung essensialisme  akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.[2]
Beberapa tokoh yang berperan dalam penyebaran aliran essensialisme dan sekaligus memberikan pola dasar pemikiran esensialisme dalam pendidikan adalah[3]:
1. George Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)
Friedrich Hegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak.
2. George Santayana
Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).
  1. Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir abad ke 15 dan permulaan abad ke 16, adalah tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada “dunia lain”. Ia berusaha agar kurikulum disekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional sehingga dapat diikuti oleh kaum tengahan dan aristokrat
  2. Johann Amos Cornenius (1592-1670), tokoh Renaissance yang pertama berusaha mensisitematiskan proses pengajaran. Ia memiliki pandangan realis yang dogmatis dan karena dunia ini dinamis dan bertujuan maka tugas kewajiban pendidikan adalah membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan.
  3. John Locke (1632-1704), tokoh dari Inggris dan populer sebagai “pemikir dunia” mengatakan bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat situasi dan kondisi. Ia juga memiliki sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
  4. Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827), mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia percaya akan hal-hal transedental dan manusia mempunyai hubungan transedental langsung dengan Tuhan.
  5. Johann Friederich Frobel (1782-1852) seorang tokoh transendental pula yang corak pandangannya bersifat kosmissintetis dan manusia adal;ah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini. Oleh karena itu ia tunduk dan mengikuti ketentuandari hukum-hukum alam. Terhadap pendidikan ia memandang anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif dan tugas pendidikan adalah memimpin peserta didik kearah kesadaran diri sendiri yang murni, sesuai fitrah kejadiannya.
  6. Johann Fiedrich Herbart (1776-1841) salah seorang murid Immanuel Kant yang berpandangan kritis. Ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari yang Mutlak berarti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan dan ini pula yang disebut “pengajaran yang mendidik” dalam proses pencapaian tujuan pendidikan.
  7. Tokoh terakhir dari Amerika Serikat William T Harris (1835-1909) pengikut Hegel, berusaha menerapkan idealisme objektif pada pendidikan umum. Menurut dia bahwa tugas pendidikan adalah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan spiritual. Keberhasilan sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang turun temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri setiap orang kepada masyarakat.


[1] Uyoh sa’dulloh,pengantar filsafat pendidikan.(bandung:alfabeta,2007),hal.158
[2] Jalaludin dan Abdullah Idi,Filsafat Pendidikan (Jakarta:Gaya Media Pratama,2002),hal.81
[3] Djumberansyah Indar .Filsafat pendidikan(Surabaya:Karya Abditama,1994),hal.135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar