Senin, 02 Januari 2012

KARAKTER RASA AGAMA PADA REMAJA DAN IMPLIKASINYA



 
A.    PENGANTAR
Ada beberapa definisi rasa agama yang telah disampaikan oleh ahli psikologi. Rasa agama menurut Clark adalah pengalaman bathin dari seseorang ketika ia merasakan adanya tuhan, khususnya bila efek dari pengalaman itu terbukti dalam bentuk perilaku, yaitu ketika ia secara aktif berusaha menyesuaikan hidupnya dengan tuhan[1]. Sementara itu, rasa agama menurut Dra. Susilaningsih[2], adalah kristal kristal rasa agama yang ada dalam diri manusia sebagai produk dari proses internalisasi nilai nilai agama melalui proses mengalami, continue, konsisten dan berkelajutan.
Penanaman nilai nilai keagamaan menyangkut konsep tentang ketuhanan, semenjak usia dini mampu membentuk religiositas anak mengakar secara kuat pada masa remaja dan mempunyai pengaruh sepanjang hidup. Pada teori Harms, dinyatakan bahwa pemahaman anak tentang tuhan melalui tiga fase, dan masa remaja adalah masa yang mengalami fase individualistic stage. Dua situasi yang mendukung perkembangan rasa agama pada usia remaja adalah kemampuannya untuk berfikir abstrak dan kesensitifan emosinya.
Pada masa remaja, anak masuk ke dalam tahap pendewasaan, dimana hati nurani (conscience) sudah mulai berkembang melalui pengembangan dan pengayaan. Proses kerja hati nurani dibantu oleh gejala jiwa yang lain yang disebut rasa bersalah (guilt) dan rasa malu (shame), yang akan muncul setiap kali ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hati nuraninya. Kata hati, rasa bersalah dan rasa malu dalam perkembangan religiousitas adalah mekanisme jiwa yang terbentuk melalui proses internalisasi nilai nilai keagamaan pada usia anak, yang akan berfungsi sebagai pengontrol perilaku pada usia remaja. Hati nurani mulai mengambil peran pada masa remaja yang juga membantu dalm proses pemilikan pandangan hidup yang akan menjadi dasar dasar pegangan hidupnya dalam bermasyarakat.
Dalam  pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki masa Progresif. Dalam pembagian yang agak terurai masa remaja mencakup masa juvenitilas (adolescantium), pubertas, dan  nubilitas[3]. Penghayatan remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.
  1. KARAKTER RASA AGAMA PADA REMAJA
1.    Religious awakening
Religious awakening yakni minat beragama atau kebangkitan rasa agama. Secara potensi, remaja sudah menginginkan adanya hubungan dengan suatu hal yang besar yang ada di luar dirinya, yang dapat menenangkan dan melindungi dirinya.
2.    Individualistic
3.    Sintesis
Bagi pendidik, hendaknya untuk memberikan materi agam bagi remaja dengan menggunakan konsep yang luas, dan mengaitkan dengan bidang ilmu lain.
4.    Konvensional
5.    Maknawi
6.    Reflektif
Pada awal masa usia, remaja mulai berlaku seksuai dengan hati nuraninya, dorongan untuk menentukan sendiri pilihan pilihan perilakunya dan mulai terlepas dari arahan orang tua. Remaja tak sukalagi berperilaku sesuai dengan aaturan orang tua-nya. Masa remaja adalah masa pemberontakan. Pada masa itulah hati nurani mulai mengambil peran dalam menentukan perilaku remaja, dan rasa tanggung jawab atas segala akibat dari  perilakunya.
7.    Agama menjawab persoalan pribadi
Menurut harrold, remaja memerlukan agama karena masa remaja adalah masa stram and unsecurity (bergelora dan tidak aman). Akan tetapi realitanya remaja tidak menyukai hal hal yang bersifat keagamaan, hal ini dikarenakan agama tidak menjawab kebutuhan dan persoalan remaja. Agama menjadi tidak mampu mengatasi dan menjawab kebutuhan serta persoalan remaja karena penyampaian materi agama yang tidak sesuai dengan masanya, sehingga pemahaman remaja menjadi berbeda dan tidak sesuai dengan pemahaman yang seharusnya. Selain itu pula, disebabkan karena kurangnya rasa dekat antara dirinya dengan tuhannya, yang dilator belakangi karena kurangnya komunikasi antara ia dengan tuhannya melalui ritual keagamaan. Kebiasaan pendidik yang hanya sekedar memberikan materi keagamaan secara kongkrit, membuat remaja menjadi kurang memaknai agama, sehingga membuat kristal rasa agama dalam dirinya lemah.
8.    Agama dan kelompok  social
Pada hakikatnya, remaja sudah membutuhkan teman sebaya yang dekat dengan dirinya (rumah kedua) sebagai tempat berekspresi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Kelompok social ini dapat mempengaruhi rasa agamanya, karena melaluia kelompok sosial ini ia akan mengetahui apakah perilakunya diterima atau ditolak oleh lingkungannya, sehingga nantinya akan menimbulkan motivasi untuk berperilaku sesuai dengan yang dapat diterima oleh lingkungannya.
9.    Doubt
Religious doubt atau religious questioning, yakni mempertanyakan segala sesuatu hal mengenai keyakinannya. Remaja mempertanyakan masalah “child religious belief” terutama masalah inconsistencies antara nilai agama dengan realita, pengetahuan dan pengalaman yang menggelisahkan. Religious doubt terjadi disebabkan Karena kognisi remaja sudah mulai berkembang, sehingga pada usia remaj, seseorang menjadi banyak bertanya, karena pada dasarnya pada usia anak-anak hal-hal yang bersifat keagamaan masuk melalui proses tanpa tanya, bersifat doktriner, rutinitas, kongkrit dan tanpa referensi yang mana kebanyakan merupakan otoritas dari orangtua. Untuk mengatasi religious doubt dapat dilakukan melalui :
a.     Peer group
Penting bagi remaja untuk memilih teman bergaul yang dapat menambah sisi baik, member motivasi, semangat  dan inspirasi bagi dirinya.
b.    Sosok idola
Hal ini penting bagi pendidik, orang tua maupun orang yang lebih tua, agar memberikan contoh teladan yang tepat bagi remaja, sehingga mampu menjadi sosok yang di idolakan remaja tanpa melupakan etika.
10.  Conversi
Kepemilikan rasa agama dapat datang secara cepat (conversi) atau dengan melalui perkembangan.

C.    IMPLIKASI
Spilka menyatakan bahwa penanaman agama yang terhenti sebelum seseorang mencapai formal operation stage kadang akan sulit untuk diperbaiki. Oleh karena itu pemberian materi agama bagi remaja harus tetap dilakukan dengan memperhatikan berbagai aspek perkembangan yang terjadi pada masa remaja.
Sebagai faktor eksternal, maka pendidik harus memperhatikan dinamika perkembangan remaja. Dalam hal ini dinamika perkembangan remaja dapat digunakan sebagai dasar penyusunan materi yang akan diberikan kepada remaja beserta strategi dan metode penyampaiannya. Dilihat dari segi muatanya, pendidikan agama Islam merupakan mata pelajaran pokok yang menjadi satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dengan mata pelajaran yang lain  sehingga penyampaian materi agama harus disampaikan menggunakan konsep yang luas, dengan mengaitkan berbagi cabang ilmu pengetahuan lain dan disampaikan secara mendalam. Hal ini sesuai dengan berbagai aspek perkembangan remaja baik kognisi maupun kejiwaannya sehingga mampu mendorong minat beragama serta menumbuhkan minat untuk menggali secara mendalam mengenai berbagai pengetahuan agama, sehingga dapat menjawab segala pertanyaan mengenai suatu hal yang berkaitan dengan keyakinannya dan menjawab semua persoalan pribadinya.
 Dengan demikian maka materi pendidikan agama dapat diterima dengan baik  dan dapat di aplikasikan dalam kehidupan sehari hari mereka , sehingga dapat meningkatkan potensi spiritual serta membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia.

D.    PENUTUP
Masa remaja mencakup masa juvenitilas (adolescantium), pubertas, dan  nubilitas. Masa remaja adalah masa pemberontakan. Pada masa itulah hati nurani mulai mengambil peran dalam menentukan perilaku remaja, dan rasa tanggung jawab atas segala akibat dari  perilakunya. Oleh karena itu pemberian materi agama bagi remaja harus tetap dilakukan dengan memperhatikan berbagai aspek perkembangan yang terjadi pada masa remaja. sehingga mampu mendorong minat beragama serta menumbuhkan minat untuk menggali secara mendalam mengenai berbagai pengetahuan agama, sehingga dapat menjawab segala pertanyaan mengenai suatu hal yang berkaitan dengan keyakinannya dan menjawab semua persoalan pribadinya, sehingga dapat meningkatkan potensi spiritual serta membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia.

DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin, Psikologi Agama,  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Mudjahit Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.




[1] Clark, W.H, The Psychology Of  Religion. (New York : The MacMillan Company, 1958), Hal. 22

[2] Dosen Psikologi Agama,Fakultas tarbiyah dan Keguruan,UIN Sunan kalijaga
[3] Jalaluddin, Psikologi Agama. Hal. 74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar