Jumat, 14 Juni 2013

SEPUTAR IBADAH HAJI


Setiap ibadah selalu ada tata caranya masing masing. Diantara tata cara peribadatan tersebut ada beberapa hal yang dilarang secara khusus dalam ibadah tersebut. Demikian pula terdapat pula hal hal yang dilarang, dalam keadaan berihram, baik ihram haji ataupun umrah, diantaranya :
1.            Yang dilarang bagi laki laki
·              Larangan pakaian
Dilarang memakai pakaian berjahit, baik pakaian jahit biasa atau sulaman atau yang diikatkan keduannya. Yang dimaksud adalah tidak boleh memakai pakaian yang melengkungi badan (seperti sarung). Yang diperbolehkan adalah memakai kain panjang, kain basahan atau handuk[1].  Larangan ini telah disepakati secara bulat oleh seluruh ahli ilmu berdasarkan hadits dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bahwasanya Rasulullah SAW pernah ditanya “Apa yang dipakai orang ihram?” Beliau menjawab “hendaklah ia tidak memakai qamis, sorban, burnus, celana, kain yang diolesi waras maupun za’faran maupun khuff (sepatu yang menutup rapat tungkai kaki) kecuali jika ia tidak memiliki sandal maka hendaklah ia memotongnya hingga keduanya tetap dibawah mata kaki”.
Sedangkan jenis damnya adalah boleh memilih salah satu dari berikut ini :
a)           Menyembelih seekor kambing
b)           Memberi makan 3 sho’ (9,6 kg) beras/gandum untuk 6 orang miskin
c)           Berpuasa 3 hari (di Tanah Haram atau di negeri kita sendiri)

·              Larangan menutup kepala
Dilarang menutup kepala kecuali dalam keadaan mendesak, tetapi ia wajib membayar dam (denda)
لاتـﺧﻤروارأسـه فإنه يبعث يوم القيا مة ملبيا
“janganlah kamu tutup kepalanya, maka sesungguhnya ia akan dibangkitkan nanti pada hari kiamat dalam keadaan membaca talbiyah (riwayat Bukhori  dan Muslim)
Adapun jika ia menutup kepalanya dengan berteduh di dalam tandu, maka hal ini diperselisihkan diantara ulama. Imam Malik dan Madzhab Hambali berpendapat bahwa ia harus membayar fiidyah, sebab ia telah berniat menyenangkan diri. Di samping itu ada larangan akan hal tersebut yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dari sejumlah jalur dan dijadikan hujjah oleh Imam Ahmad. Sedangkan berteduh di dalam tandu disaat berjalan, maka ada yang mengatakan bahwa hal itu hanya makruh dan tidak haram. Namun, yang paling afdhal adalah memaparkan diri dan berjemur di bawah terik matahari demi Dzat yang dia ihrami seperti yang dilakukan Nabi SAW dan para sahabatnya. Seperti halnya Ibnu Umar yang menegur seorang laki-laki “paparkanlah diri pada Dzat yang engkau berihram kepadaNya”. Namun, Imam Ahmad membolehkannya sebagaimana Abuu Hanifah dan Syafi’I karena ada riwayat yang menyatakan bahwa Usamah pernah mengangkat bajunya untuk memayungi Nabi SAW dari terik panas hingga beliau melempar jumrah Aqabah.
Jenis dam bagi yang menutup kepala ketika ihram adalah sama halnya dengan jama’ah yang memakai pakaian berjahit.

2.            Yang dilarang bagi perempuan
Dilarang menutup muka maupun menggunakan sarung tangan yang menutup telapaknya bagi wanita. Termasuk di dalamnya adalah masker penutup hidung atau mulut. Apabila mendesak maka diperbolehkan dengan syarat tetap membayar fidyah.[2] Jenis dam bagi perempuan yang menutup muka saat ihram sama seperti dam bagi jama’ah laki-laki yang memakai pakaian berjahit atau menutup kepala.
3.            Yang dilarang bagi keduanya
·              Berhubungan badan
Hubungan biologis suami istri ataupun perkataan dan perbuatan yang mengarah pada perbuatan tersebut meskipun dilakukan terhadap suami atau istri. Allah SWT dalm QS. Al Baqarah 197 berfirman :

·       kptø:$# Ößgô©r& ×M»tBqè=÷è¨B 4 `yJsù uÚtsù  ÆÎgŠÏù ¢kptø:$# Ÿxsù y]sùu Ÿwur šXqÝ¡èù Ÿwur tA#yÅ_ Îû Ædkysø9$# 3 $tBur (#qè=yèøÿs? ô`ÏB 9Žöyz çmôJn=÷ètƒ ª!$# 3 (#rߊ¨rts?ur  cÎ*sù uŽöyz ÏŠ#¨9$# 3uqø)­G9$# 4 Èbqà)¨?$#ur Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÐÈ

     (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.

Adapun senggama yang terjadi setelah tahallul awal menurut pendapat ibnu Umar, al hasan, dan Ibrahim tidak merusak haji, tetapi wajib menqadha’nya serta membayar fidyah. Terkait fidyah persenggamaan selama ihram terdapat beberapa pendapat antara unta gemuk yang dipikul bersama-sama oleh tujuh orang atau seekor domba. Ibnu Abbas dan Atha mengharuskan pembayaran fidyah dengan unta gemuk yang dipikul beersama sama oleh tujuh orang. Pendapat ini dianut juga oleh Ikrimah, dan menjadi salah satu qaul Syafi’I serta dipilih oleh kalangan mahzab Hanafi. Di sisi imam Malik menyatakan keharusan membayar fidyah dengan seekor domba.[3]
Ketiga Imam yang terdiri dari Abu Hanifah, Syafi’I dan Ahmad berpendapat jika orang yang ihram berhubungan badan dengan istrinya sementara ia masih berstatus sebagai muhrim haji, maka keduanya tetap melanjutkan ritual haji hingga tuntas kemudian mereka harus berhaji lagi pada tahun berikutnya dan berkurban. Sedangkan disisi lain Imam Malik dan Hasan Asy Syaibani dari kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa keduanya dapat langsung bertahallul dengan menngerjakan umrah dan tidak perlu melanjutkan haji mereka yang telah fasid. Madzhab Zahiri berpendapat bahwasanya senggama sebagai penghalal ihram yang mengeluarkan pelakunya dari haji sekaligus umrah sehingga pelaku senggama tidak boleh melanjutkan iibadah haji maupun umrah sebab keduanya telah fasid.

·              Berlaku maksiat dan bertengkar
Mekkah adalah tanah suci, tidak diperbolehkan adanya pertengkaran terlebih pertumpahan darah disana, Termasuk juga jidal (berbantah bantahan)[4]. Berbantah-bantahan dan cek cok yang dilarang adalah berbantah-bantahan dalam hal kebathilan sedangkan berdebat untuk mencari kebenaran dengan cara yang santun justru dianjurkan. Berdasarkan firman Allah QS. An Nahl 125 :
Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr&  
          “Bantahlah mereka dengan cara yang baik”

·              Membunuh binatang buruan
Diluar ihram, perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang mubah. Namun ketika ihram perbuatan tersebut dilarang. Berburu atau membunuh hewan buruan dilarang kecuali jika hewan tersebut menyerang kita dan kita harus mempertahankan diri darinya. Larangan tersebut dapat dilihat dalam firman-Nya QS.Al Maidah 95š
Menurut Abu Hanifah, orang yang membunuh binatang buruan selama ihram wajib membayar denda dengan uang tunai yang senilai. Nilai binatang yang dibunuh ditakar oleh dua orang yang adil di tempat kejadian perkara atau di dekatnya. Jika nilainya mencapai nilai seekor hewan kurban, ia boleh memilih antara membeli hewan kurban yang hargannya senilai dengan harga binatang yang dibunuhnya  kemudian menyembelihnya, atau membeli makanan dan menyedekahkannya kepada sejumlah orang fakir dengan takaran masing-masing orang mendapat setengah sha’, atau menggantinya dengan puasa yang jumlah harinya disesuaikan dengan sejumlah makanan diberikan kepada setiap orang miskin

·              Merusak pepohonan
Sebagaimana halnya keharaman memburu binatang buruan di tanah Haram dan mengganggunya, diharamkan juga menurut ijma’ bagi orang yang sedang ihram maupun tidak ihram menebang pohon liar yang pada umumnya tumbuh sendiri dan tidak ditanam oleh manusia dan memotong tanaman herbal (selain pohon) hingga duri sekalipun kecuali idzkhir (lemon grass), tanaman yang beraroma wangi.
Sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut :
“Di tanah haram ini seseorang tidak boleh mengganggu binatang binatang buruannya dan merusak pepohonannya serta tidak boleh memungut barang yang tercecer diatasnya, kecuali untuk dikembalikan pada pemiliknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Syafi’I dan Ahmad penebangan suatu pohon yang menurut ‘urf dianggap kecil harus diganti rugi dengan seekor biri-biri sedangkan diatasnya harus diganti rugi dengan seekor sapi. Adapun Abu Hanifah memilih penggantian dalam bentuk nilai nominal.[6]
                     
·              Memakai wangi wangian
Selama ihram dilarang memakai wangi wangian atau parfum. Termasuk di dalamnya adalah menggunakan sabun yang wangi atau pasta gigi yang berbau harum, menggunakan suncream dan make-up. Memakai wangi wangian sebelum ihram diperbolehkan asalkan tidak berlebih lebihan.
Sedangkan di sisi lain, Imam Malik dan Muhammad bin Al Hasan dari madzhab Hanafi melarang hal tersebut.[7]
Sedangkan jenis damnya adalah dapat memilih salah satu dari berikut ini:
a)     Menyembelih seekor kambing
b)     Memberi makan 3 sho’ (9,6 kg) beras/gandum untuk 6 orang miskin
c)     Berpuasa 3 hari (di Tanah Haram atau di negeri kita sendiri)

·               Memotong rambut dan kuku
Selama ihram dilarang memotong kuku dan rambut termasuk mencabutnya, namun apabila tidak sengaja kemudian rambut tersebut rontok maka tidaklah mengapa. Jika pelaku ihram menyusupkan tangan atau sisir ke dalam rambutnya dan ia ragu akan sedikit saja rambutnya yang rontok maka ia dianjurkan membayar fidyah demi kehati-hatian namun tidak wajib sebagaimana pendapat Imam Ahmad. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah jika ia mandi dan ada sedikit rambutnya yang rontok maka tidak masalah meskipun ia yakin bahwa rambutnya rontok akibat mandi (keramas) tersebut.[8]
Sedangkan jenis damnya adalah dapat memilih salah satu dari berikut ini:
a)     Menyembelih seekor kambing
b)     Memberi makan 3 sho’ (9,6 kg) beras/gandum untuk 6 orang miskin
c)     Berpuasa 3 hari (di Tanah Haram atau di negeri kita sendiri)

·              Melangsungkan pernikahan
Dilarang melangsungkan pernikahan baik untuk dirinya atau bertindak sebagai wali maupun saksi dalam pernikahan. Akan tetapi rujuk tidak dilarang, sebab rujuk itu berarti mengekalkan pernikahan bukan akad nikah.
ينكح المحرم ولا ينكح ولا يخطب
Orang yang sedang ihram haji atau umrah, dilarang kawin (nikah), menikahkan, dan meminang (melamar wanita). HR. Muslim[9]
Menurut kalangan madzhab Hanafi dan Ats Tsauri membolehkan pernikahan saat berihram, mereka merujuk pada sebuah hadits dalam Shahih Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi SAW menikahi Maemonah ketika sedang menjalankan ihram. Akan tetapi ada versi lain dalam Ash Shahih yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad menikahi Maemonah ketika Beliau telah halal (mengambil tahallul) dan tidak sedang ihram lagi. Jika memang Beliau menikahi Maemonah ketika masih ihram, maka hal itu diartikan sebagai sesuatu yang khusus bagi Nabi SAW.
Meski demikian tidak ada kewajiban fidyah dalam akad nikah sebab ia merupakan akad yang batal demi ihram sehingga tidak diwajibkan membayar fidyah.[10]



[1] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar baru Algensindo, 1995) hal 265

[2] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, hal 265
[3] Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahab Sayyad Hawas, fiqih Ibadah, (Jakarta : Amzah, 2009) Hal 547
[4] Thohir Luth, Tuntunan Praktis Ibadah haji dan Umrah, (Jakarta : Rineka Cipta, 1995) Hal : 9
[5] Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahab Sayyad Hawas, hal. 551
[6] Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahab Sayyad Hawas, hal.555
[7]Ibid, hal. 539
[8] Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahab Sayyad Hawas, hal.535
[9] Husein Bahreisj, Himpunan Hadist Shohih Muslim, (Surabaya : Al Ikhlas, 1984) Hal : 156
[10] Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahab Sayyad Hawas, Hal. 545

Tidak ada komentar:

Posting Komentar