Kamis, 13 Juni 2013

RETHINGKING ISLAM


RETHINGKING ISLAM MUHAMMAD ARKOUN

A. Bografi Muhammad Arkoun
Muhammad Arkoun terlahir dari keluarga Barber sederhana, suku Kabylia di kaki bukit desa Taorirt-Mimoun, Aljazair pada tanggal 12 januari 1928. Arkoun meneyelesaikan pendidikan dasar di desanya, dan pendidikan menengah dan pendidikan tingginya di kota pelabuhan oran, sebuah kota utama yang terletak di Aljazair bagian barat. Dia kemudian pindah ke Universitas Sorbonne dan meraih gelar Phylosopy Doctoral pada tahun 1969 M. Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969. Arkoun sekarang tinggal di Paris dan menjadi seorang Profesor Emeritus dalam Islamic Studies di Universitas Sorbonne, Paris-Perancis. Pada November 1992 di Yogyakarta. Ia sempat memberikan ceramah di UIN Yogyakarta dan Jakarta di depan forum LKiS dan beberapa lembaga lain.

B.    Pemikiran Muhammad Arkoun[1]
Pemikiran Muhammad Arkoun yang paling fundamental dalam setiap
penerapannya untuk mengkaji islam ada dua konsep:

1.     Konsep Dekonstruksi
Dekonstruksi berarti pembongkaran dari dalam. Dekonstruksi merupakan alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk penafsiran baku.

Arkoun mengklaim bahwa strategi dekonstruksi yang ia tawarkan sebagai sebuah strategi terbaik. Strategi ini berawal dari pendapatnya bahwa sejarah al-Quran sehingga bisa menjadi kitab suci dan otentik perlu dilacak kembali. Dan ia mengklaim bahwa strateginya itu merupakan sebuah ijtihad.
Dengan Ijtihadnya ini Arkoun menyadari bahwa pendekatannya ini akan menantang segala bentuk penafsiran ulama terdahulu, namun ia justru percaya bahwa pendekatan tersebut akan memberikan akibat yang baik terhadap al-Quran. Dan menurutnya juga, pendekatan ini akan memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang al-Quran, dengan alasan karena metode ini akan membongkar konsep al-Quran yang selama ini telah ada.
2.     Konsep Historitas
Arkoun mengatakan “bahwa  pendekatan historisitas, sekalipun berasal dari Barat, namun tidak hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja. Pendekatan tersebut dapat diterapkan pada  semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks historis.”
Arkoun juga menyatakan bahwa Strategi terbaik untuk memahami historisitas keberadaan umat manusia ialah dengan melepaskan pengaruh idiologis. Sehingga menurutnya, metodologi multidisiplin dari ilmu sejarah, sosiologi, antropologis, psikologis, bahasa, semiotik harus digunakan untuk mempelajari sejarah dan budaya Islam. Jika strategi ini digunakan, maka umat Islam bukan saja akan memahami secara lebih jelas masa lalu dan keadaan mereka saat ini untuk kesuksesan mereka di masa yang akan datang, namun juga akan menyumbang kepada ilmu pengetahuan modern.
Arkoun memperkenalkan tiga level tingkatan wahyu yaitu :
Pertama Wahyu sebagai firman Allah yang tak terbatas dan tidak diketahui oleh manusia, yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab.
Kedua, Wahyu yang nampak dalam proses sejarah. Berkenaan dengan Al-Qur’an, hal ini menunjuk pada realitas Firman Allah sebagaimana diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun.
Ketiga, Wahyu sebagaimana tertulis dalam Mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada al-Mushaf al-Usmani yang dipakai orang-orang Islam hingga hari ini.
Pendapat Arkoun bahwa al-Quran yang asli itu tersimpan di Lauh al-Mahfudz diikuti oleh Dawam Raharjo yang merupakan salah satu perintis liberalisasi Islam di Indonesia pada tahun 1960-an, ia menyatakan: “Ketika turun kepada Nabi, wahyu itu bekerja dalam pemikiran Muhammad sehingga mengalami transformasi dari bahasa Tuhan ke bahasa manusia. Dan ketika wahyu itu disampaikan kepada sahabat, beberapa sahabat mentransformasikannya pula dalam bentuk transkip yang tunduk kepada hukum-hukum bahasa yang berlaku. Dan kemudian ketika dilakukan kodifikasi, komisi yang dibentuk oleh Khalifah Usman melakukan seleksi dan penyusunan dan pembagian wahyu ke dalam surat-surat menjadi antologi surat-surat. Namun disitu terdapat peranan dan campur tangan manusia dalam pembentukan teks al-Quran seperti kita lihat sekarang. Karena adanya campur tangan manusia, wajar jika terjadi kesalahan dalam proses itu yang mendistrosi wahyu yang semula tersimpan di Lauh al-Mahfudz itu. Hal itu bisa dipahami melihat kasus kodifikasi hadits yang mengandung ribuan hadits palsu itu. Apalagi dalam penetapan Mushaf Utsmani, Khalifah memerintahkan untuk membakar sumber-sumber yang menimbulkan masalah yang controversial. Namun demikian, siapa tahu di antara berbagai masalah yang sangat controversial yang dibakar itu justru sesungguhnya terdapat teks yang benar? Dan sebaliknya juga, siapa tahu bahwa sebagian dari kodifikasi itu terdapat teks yang keliru? Dalam hal ini, Aisyah sendiri mengakui kemungkinan terjadinya kecerobohan pada penulisan teks al-Quran.[2]
Pemikiran-pemikiran Arkoun juga tertuang dalam beberapa pertanyaan yang membahas tentang hal-hal tertentu misalnya tentang mencitrakan islam, islam dan muslim, gereja dan negara, sekularisme, nasionalisme dogma-dogma, dan lain-lain. Disini kita akan membahas beberapa dari penejelasan Arkoun yang tertuang dalam hal-hal tersebut diatas :
·       Islam dan muslim[3]
Pada umumnya kata islam diterjemahkan dengan “penyerahan diri”, “penyerahan diri kepada Tuhan” atau bahkan “kepasrahan”.  Bila diartikan sebagai kepasrahan maka kurang tepat. Orang-orang yang beriman tidak diperintahkan untuk pasrah di hadapan Tuhan. Mereka mengalami proses dimana cinta kepada tuhan adalah segalanya suatu transformasi yang mendorong mereka untuk menerima apa yang dimiliki Tuhan karena Tuhan, melalui wahyu, mengangkat manusia ke derajatnya sendir. Melalui pengangkatan derajat ini maka timbullah rasa syukur atas apa yang diberikan Tuhan kepada mahkluk sehingga terbangunlah suatau hubungan ketaatan yang penuh rasa cinta antara sang Khaliq dan makhluk. Secara etimologis, kata islam mempunyai arti “menyerahkan sesuatu kepada seseorang”. Dengan kata lain islam sendiri mengidentifikasikan sebagai “memberikan keseluruhan jiwa (raga) seseorang kepada Tuhan”. Makna dasarnya adalah menyerahkan jiwa (raga) untuk tujuan kemuliaan misalnya, dalam suatu peperangan di jalan Allah, adalah aplikasi yang ekstrim untuk menunjukkan suatu curahan cinta, suatu bentuk transformasi, yang menyebabkan orang beriman meneriam tanpa ragu ajaran-jaran Tuhan.
Disebutkan di dalam Al-Qur’an tentang Ibrahim yang disebut sebagai seorang muslim. Kata muslim dalam Al-Qur’an memberi pengertian bahwa seoarng muslim adalah seorang yang berbuat penuh ketaatan disertai rasa cinta kepada Tuhan. Seebagaimana dicontohkan oleh Ibrahim yang patuh dan tanpa ragu-ragu menjalankan perintah Tuhan untuk menyembelih atau mengorbankan anaknya.  Ketika Al-Qur’an mengatakan bahwa Ibrahim bukan Yahudi, nasrKetika Al-Qur’an mengatakan bahwa Ibrahim bukan Yahudi ataupun kristen tetapi melainkan seorang muslim, maka hal ini jelas tidak menunjuk kepada islam sebagai mana yang telah didefinisikan oleh para teolog dan juris dalam penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an dan ajaran-ajaran Muhammad. Dalam konteks itu, muslim diartikan sebagai sebuah sikap religius yang ideal yang disimbolkan oleh Ibrahim dalam perilakunya, maka tak pelak Ibrahim dijuluki bapak dari orang-orang yang Beriman. Ia membangun siakap religius monoteisme (tauhid) sebelum membangun ritual-ritual yang akhirnya akan menentukan dan mempartikularkan ketiga agama monoteis ini.
Ada satu pernyataan Arkoun yang perlu kita pikirkan dan telaah kembali, ia berkata “pengguaan kata dunia “islam” untuk menjelaskan masyarakat yang sangat berbeda harus dihindari”[4] pada kalimat ini mengandung makna yang sangat dalam untuk menafsirkan arti dari islam dan seorang muslim.
·       Sekularisme
Kasus turki dan At taturk (Mustafa Kamal) mendapat analisis panjang karena barat seringkali memandang dengan mata suka atas sikapnya yang audicious terhadap nilai barat, sekularisme. Demikianlah sensitivitas intelektual, dunia muslim dianggaptidak tahu apa-apa tentang gerakan peradaban dan tetap tertutup dari kemajuan ide-ide dan lembaga.
            Kemudian apa yang terjadi ketika Attaturk memegan kekuasaan setelah kekalahan Turki Usmani? Attaturk dianggapsebagai pahlawan yang memperadabkan, bapak Turki modern tanpa ragu-ragu melepaskan negaranya dari konservatisme Turki Usmani dan mengantarkannya menuju modernitas dengan suatu metode, keyakinan, dan model yang masih sangat diperdebatkan.
            Pandangan Attaturk tentang islam disatu pihak dan tentang sekularisme disisi lain merupakan kondisi kesadaran naïf yang dijumpai dikalangan mayoritas kalangan intelektual muslim. Sekularisme dipahami sebagai salah satu resep yang harus diterapkan pada masyarakat, dimana agama mengontrol semua kejadian dan gerak gerik kehidupan.
            Attatruk menyerang dunia semiologis muslim dengan menggantikan huruf arab dengan huruf latin, sorban dengan topidan menggantikan huruf syariah dengan kode hokum swiss. Semuasistem-sistemsemiologis yang mempengaruhi sensibilitas individu dankolektif serta control dan bentuk-bentuk pemahamanapriori secara resmi dihapus dan siap digantikan dengan system-sistem Eropa.
            Revolusi attaturk merupakan kemenangan nalar positivis dan historisis yang secara radikal terputus dari kesadaran mistis dimana mayoritas orang orang beriman, ulama, dan orang awam terus bergerak. Terobosan ideologis antara pemimpin pemimpin revolusionerdan massa yang mereka klaim beremansipasi merusak capital symbol yang ditanam oleh tradisi yang hidup.


[1] Kris Budiman, 1999, Kosakata Semiotika, Yogyakarta:LKis, hlm. 21
[2] ibid
[3] Rethinking islam (Dr. Mohammed Arkoun) hal. 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar