BANGSA ARAB SEBELUM DATANGNYA ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam pengetahuan, sejarah menempati posisi yang penting dan signifikan. Ia bisa dikatakan sebagai Mother of Knowladge. Berangkat dari sejarah, pengetahuan dapat digali dan dikaji demi kebaikan peradaban pada masa yang akan datang. Proses memahami dalam kajian sejarah harus dibarengi pula dengan pendekatan dan metodologi yang memadai, karena jika tidak demikian wajah sejarah tidak lagi indah untuk dinikmati, tapi sejarah berwajah garang karena akan diperas untuk kepentingan sebagian kelompok.
Perlu dimengerti bahwa kebudayaan menjangkau segala macam aspek kehidupan. Interaksi antar-manusia, yang hidup dalam suatu masyarakat, dengan lingkungannya menghasilkan diantaranya skema hasil milik, pencapaian dan penggunaan benda-benda
Material dan teknologi, fakta-fakta berkaitan dengan kehidupan seks, tingkah laku sebagai orang tua, perserikatan-perserikatan atau upacara-upacara yang memberikan kerangka kehidupan kepada masyarakat; kegiatan transaksi ekonomi, peran dewa dan ketentuan-ketentuan supranatural. Kebudayaan selalu hidup dalam suatu masyarakat tertentu dimana anggotanya saling berinteraksi dan berkomunikasi secara teratur. Karena interaksi antar anggota masyarakat tertentu dalam kurun waktu yang cukup lama, maka dengan sendirinya akan terjadi seleksi nilai-nilai yang diangkat menjadi norma bagi perilaku anggota yang bersifat mengikat.
Sejak sebelum kehadiran Muhammad SAW, keadaan masyarakat Arab sangat rapuh, antara suku saling berperang hanya karena persoalan kecil. Perang antara Bani Akbar dan Bani Taghlib yang berlangsung selama 40 tahun, terjadi akibat persoalan sepele yaitu saling mengejek dalam ajang pacuan kuda antara kuda jantan dan kuda betina.
Menjelang lahirnya Muhammad ibn Abdullah di masyarakat Arab terdapat sekelompok orang yang dikenal sebagai kaum hanif,
BAB II
PEMBAHASAN
v Silsilah Bangsa Arab dan Tinjauan Geografis Arab Pra-Islam
Bangsa arab mempunyai akar panjang dalam sejarah, mereka termasuk ras atau rumpun bangsa Caucasoid, dalam subras Mediterranean yang anggotanya meliputi wilayah sekitar laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arabia, dan Irania.
Bangsa arab hidup berpindah-pindah, nomad, karena tanahnya gurun pasir yang kering dan sangat sedikit turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tumbuhnya stepa atau padang rumput yang tumbuh di tanah arab disekitar oasis atau genangan air setelah turun hujan. Mereka mendiami wilayah jazirah Arabia yang dahulu merupakan sambungan dari wilayah gurun yang membentang dari barat sahara di Afrika hingga ke timur meliputi Asia, Iran Tengah dan Gurun Gobi di Cina. Wilayah itu sangat kering dan panas karena uap air tidak memenuhi kebutuhan untuk mendinginkan daratan luas yang berbatu. Penduduk Arab tinggal di kemah-kemah dan hidup berburu untuk mencari nafkah, bukan bertani dan berdagang yang tidak diyakini sebagai kehormatan bagi mereka, memang negeri itu susah ditanami dan diolah. Footnote 1
Meskipun demikian, wilayah ini subur dalam menghasilkan bahan perminyakan.
Dalam analisis Philip K. Hitty, semenanjumg Arab dan orang-orang Arab sudah dikenal baik oleh orang Yunani dan Romawi. Sebab negeri tersebut berada di jalur perdagangan mereka meneju India dan Cina. Negeri ini dikenal sebagai penghasil berbagai komoditas yang sangat bernilai dipasaran barat. Penduduknya adalah pedagang perantara di laut-laut selatan, seperti halnya kerabat mereka, orang-orang pheonisia sebelumnya merupakan orang-orang Mediterania. Footnote 2
Para penulis klasik membagi negeri arab menjadi Arab Felix, Arab Petra dan Arab Gurun. Arab Gurun meliputi gurun pasir Suriah-Mesopotania (badiyah). Wilayah Arab Petra (gunung batu) berpusat di dataran Sinai dan Kerajaan Nabasia, dengan ibu kota Petra. Wilayah Arab Felix mencakup bagian lainnya di semenanjung Arab, yang kondisinya tidak banyak diketahui. Footnote 3 hal 48
Begitu pula dalam tulisan Ali Mufrodi bahwa dalam membicarakan wilayah geografis yang didiami bangsa Arab sebelum islam, orang membatasi pembicaraan hanya pada jazirah arab, padahal bangsa Arab juga mendiami daerah-daerah disekitar Jazirah. Jazirah Arab memang merupakan kediaman mayoritas bangsa Arab kala itu. Jazirah Arab terdiri dari dua bagian besar, yaitu bagian tengah dan bagian pesisir. Disana tidak ada sungai yang mengalir tetap, yang ada hanya lembah-lembah berair di musim hujan. Sebagian besar daerah Jazirah adalah padang pasir sahara yang terletak ditengah dan memiliki keadaan dan sifat yang berbeda-beda.
Penduduk Sahara minoritas terdiri atas suku-suku Badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan dan nomadik, berpindah dari satu daerah ke daerah lain guna mencari air dan padang rumput untuk binatang gembalaan mereka, yaitu kambing dan unta.
v Struktur Masyarakat dan Pemerintahan Arab Pra Islam
Bila dilihat dari asal usul keturunan, penduduk Jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu Qahthaniyun (Keturunan Qahthan) dan Adnaniyun. Akan tetapi lama kelamaan kedua golongan itu membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya.
Lebih lanjut Ahmad Hashari menjelaskan bahwa penduduk Arab kuno adalah penduduk fakir miskin yang hidup di pinggiran desa terpencil; mereka senang berperang, membunuh, dan kehidupannya bergantung pada cocok tanam dan turunnya hujan. Mereka berpegang pada aturan qabilah atau suku dalam kehidupan social. Sementara penduduk Arab kota (madani) adalah orang-orang yang melakukan perdagangan dan sibuk dengan bepergian, dan mereka juga berpegang teguh pada aturan qabilh atau suku. Footnote 4 hal 50,agus
Masyarakat, baik nomadic maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (trile) dan dipimpin oleh seorang syekh. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan dan solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Footnote 5 buku agus
Bangsa Arab disekitar Mekkah, khususnya suku bangsa Quraisy, mengembangkan sistem pemerintahan oligarki/pemerintahan oleh suatu kelompok atau beberapa orang (Guralnik, 1964: hlm. 521) yang membagi-bagi kekuasaan berdasarkan bidang-bidang tertentu. Ada kabilah tertentu yang menangani masalah peribadatan, ada yang bertugas menangani bidang pertahanan, ada pula yang bertugas dalam pengembangan perekonomian. Beberapa Departemen yang terdapat dalam pemerintahan kota Mekah. Diantaranya yang pokok ada 5 yaitu sebagai berikut :
1. al-Hijabah Departemen ini fungsinya adalah menutup ka’bah.
2. al-Saqayah yang bertanggungjawab masalah minuman air dari sumur Zamzam kepada para jama’ah haji.
3. al-Rifadah yang bertugas pokok untuk para jama’ah haji.
4. al-Nadwa urusan keanggota di majlis syura’.
5. al-Liwa, Departemen yang bertanggungjawab untuk menaikan bendera.
Perlu digarisbawahi, bahwa pada masa Pra-Islam pemerintahan maupun dalam tubuh kabilah yang menjalankannya, mereka para eksekutif harus mematuhi hasil/tugas yang dibebankan oleh majlis syura.
· Agama dan Kebudayaan Arab Pra-Islam
Mayoritas orang Arab menganut agama Yahudi, pandai bercocok tanam dan membuat alat-alat dari besi. Seperti perhiasan dan persenjataan. Sama dengan penganut agama yahudi, orang-orang Kristen juga mendapat pengaruh dari kebudayaan Hellenisme dan pemikiran Yunani. Daerah Kristen yang terpenting adalah Najran, sebuah daerah yang subur. Penganut agama Kristen tersebut berhubungan dengan Habasyah (Ethiopia), Negara yang melindungi agama ini. Penganut aliran Nestorianlah yang bertindak sebagai penghubung antara kebudayaan Yunani dan kebudayaan Arab pada masa awal kebangkitan islam.
Walaupun agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke Jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya pada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung.
Sejarah mencatat, bahwa menjelang kelahiran Muhammad, bangsa Arab masih menempatkan Allah sebagai Tuhannya walaupun dalam perkembangan berikutnya mengalami proses pembiasaan yang mengakibatkan terjadinya pengingkaran prinsip tauhid. Pada umumnya, mereka menjadikan berhala sebagai sesuatu yang sangat dekat dengan mereka, yang menentukan kehidupan mereka. Karena itu mereka biasa disebut sebagai penyembah berhala atau paganisme. Penyembahan berhala ini, pada mulanya terjadi ketika orang-orang Arab pergi ke luar kota Mekah. Mereka selalu membawa batu yang diambil dari sekitar ka’bah. Mereka menyucikan batu dan menyembahnya dimanapun mereka berada. Lama-kelamaan dibuatlah patung yang terbuat dari batu untuk disembah dan orang mengelilinginya (tawaf). Kemudian mereka memindahkan patung-patung itu dan jumlahnya mencapai 360 buah dan diletakkannya disekitar Ka’bah.
Disamping itu, ada patung-patung yang tetap berada di luar Mekah. Beberapa patung yang terkenal, antara lain, adalah Manah atau Manata di dekat Yastrib atau Madinah; Al-Latta di Taif (menurut catatan sejarah ini adalah patung yang tertua); Al-Uzza di Hijaz; dan Hubal atau patung terbesar, terbuat dari batu Akik, berbentuk manusia dan diletakkan di dalam Ka’bah. Mereka percaya; menyembah berhala-berhala itu bukan berarti menyembah wujudnya, tetapi hal itu dimaksudkan sebagai perantara untuk menyembah Tuhan. Pernyataan ini sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur,an,bahwa kami tidak menyembah kepada mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya (Q.S. 39 [al-Zumar;3]). Oleh sejarahwan, masa itu disebut sebagai masa jahiliyah, masa kegelapan, masa kebodohan dalam hal moral (agama), bukan dalam hal seperti ekonomi perdagangan, dan sastra. Mereka beragama dengan mengagungkan anggapan-anggapan mereka sendiri. Dengan demikian, perilaku sehari-hari banyak yang akhirnya menyimpang dari hakekat bertuhan. Beberapa perilaku Arab Pra-Islam, banyak dicatat dalam sejarah adalah membunuh anak perempuan, melembagakan perbudakan, dan sebagainya (Rahman, 1977:7-9 dan Muntaha dkk, 2002:21-23).
Bangsa Arab suka berperang, oleh karena itu, peperangan antar suku sering terjadi. Sikap ini tampaknya telah mendarah daging dalam diri orang Arab. Dalam masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai wanita menjadi sangat rendah. Situasi seperti ini terus berlangsung sampai datangnya agama islam. Dunia Arab kala itu merupakan kancah peperangan terus-menerus. Akibat peperangan yang terus menerus, kebudayaan mereka tidak berkembang. Oleh karena itu, bahan-bahan sejarah Arab Pra-Islam sangat langka didapatkan di dunia Arab dan bahasa Arab. Ahmad Syalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam.
Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para perawi syair. Dengan begitulah, sejarah dan sifat masyarakat Badui Arab dapat diketahui, antara lain bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan kondisi alami yang tidak berubah itu, masyarakat Badui pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh lebih murni dari bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang masih dalam taraf permulaan perkembangan budaya. Bedanya dengan bangsa lain, hampir seluruh penduduk Badui, adalah penyair.
Lain halnya dengan penduduk negeri yang telah berbudaya dan mendiami pesisir Jazirah Arab, sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas. Mereka selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Mereka mampu membuat alat-alat dari besi, bahkan mendirikan kerajaan-kerajaan. Kota-kota mereka masih merupakan kota-kota perniagaan dan memang Jazirah Arab ketika itu merupakan daerah yang terletak pada jalur perdagangan yang menghubungkan Syam dan Samudra India. Sebagaimana masyarakat Badui, penduduk negeri ini juga mahir menggubah syair. Biasanya, syair-syair itu dibacakan di pasar-pasar, mungkin semacam pergelaran pembacaan syair, seperti di pasar Ukaz. Bahasa mereka kaya dengan ungkapan, tata bahasa, dan kiasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar